Wetu Telu (bahasa Indonesia:Waktu Tiga) adalah praktik unik sebagian masyarakat suku Sasak yang mendiami pulau Lombok dalam menjalankan agama Islam.
Ditengarai bahwa praktik unik ini terjadi karena para penyebar Islam
pada masa lampau, yang berusaha mengenalkan Islam ke masyarakat Sasak
pada waktu itu secara bertahap, meninggalkan pulau Lombok sebelum
mengajarkan ajaran Islam dengan lengkap[1].
Saat ini para penganut Wetu Telu sudah sangat berkurang, dan hanya
terbatas pada generasi-generasi tua di daerah tertentu, sebagai akibat
gencarnya para pendakwah Islam dalam usahanya meluruskan praktik
tersebut.
Sebelum masuknya Islam, masyarakat yang mendiami pulau Lombok berturut-turut menganut kepercayaan animisme, dinamisme kemudian Hindu. Islam pertama kali masuk melalui para wali dari pulau Jawa yakni sunan Prapen pada sekitar abad XVI, setelah runtuhnya kerajaan Majapahit. Bahasa pengantar yang digunakan para penyebar tersebut adalah bahasa Jawa Kuno.
Dalam menyampaikan ajaran Islam, para wali tersebut tidak serta merta
menghilangkan kebiasaan lama masyarakat yang masih menganut kepercayaan
lamanya. Bahkan terjadi akulturasi antara Islam dengan budaya masyarakat
setempat, karena para penyebar tersebut memanfaatkan adat-istiadat
setempat untuk mempermudah penyampaian Islam. Kitab-kitab ajaran agama
pada masa itu ditulis ulang dalam bahasa Jawa Kuno. Bahkan syahadat
bagi para penganut Wetu Telu dilengkapi dengan kalimat dalam bahasa
Jawa Kuno. Pada masa itu, yang diwajibkan untuk melakukan peribadatan
adalah para pemangku adat atau kiai saja.
Dalam[1]
disampaikan dugaan bahwa praktik tersebut bertahan karena para wali
yang menyebarkan Islam pertama kali tersebut, tidak sempat menyelesaikan
ajarannya, sehingga masyarakat waktu itu terjebak pada masa peralihan.
Para murid yang ditinggalkan tidak memiliki keberanian untuk mengubah
praktik pada masa peralihan tersebut ke arah praktik Islam yang lengkap.
Hal itulah salah satu penyebab masih dapat ditemukannya penganut Wetu
Telu pada masa modern.
Dalam masyarakat lombok yang awam menyebut kepercayaan ini dengan
sebutan "Waktu Telu" sebagai akulturasi dari ajaran islam dan sisa
kepercayaan lama yakni animisme,dinamisme,dan kerpercayaan Hindu.Selain
itu karena penganut kepercayaan ini tidak menjalankan peribadatan
seperti agama Islam pada umumnya (dikenal dengan sebutan "Waktu Lima"
karena menjalankan kewajiban salat Lima Waktu).Yang wajib menjalankan
ibadah-ibadah tersebut hanyalah orang-orang tertentu seperti kiai atau
pemangku adat (Sebutan untuk pewaris adat istiadat nenek moyang).
Kegiatan apapun yang berhubungan dengan daur hidup
(kematian,kelahiran,penyembelihan hewan,selamatan dsb) harus diketahui
oleh kiai atau pemangku adat dan mereka harus mendapat bagian dari
upacara-upacara tersebut sebagai ucapan terima kasih dari tuan rumah.
Lokasi yang terkenal dengan praktik Wetu Telu di Lombok adalah daerah Bayan, yang terletak di Kabupaten Lombok Utara. Pada lokasi ini masih dapat ditemukan masjid
yang digunakan oleh para penganut Wetu Telu. Ada juga sebuah tempat
yang digunakan oleh umat berbagai agama untuk berdoa.Namanya "Kemaliq" yang artinya tabu,suci dan sakral.terletak di desa Lingsar Kabupaten Lombok Barat yang setiap tahun mengadakan sebuah upacara adat yang bernama "Upacara Pujawali Dan Perang Topat" sebagai wujud rasa syukur atas hujan yang diberikan Tuhan YME pada umat manusia.
0 comments:
Post a Comment