Raja
Selaparang, Prabu Kertabumi, mempunyai seorang patih bernama Arya
Sudarsana. Patih Arya Sudarsana ini bermukim di Prigi dengan Seratus
Kaumnya. Arya Sudarsana yang juga Banjar Getas inilah yang dari awal
tutur menjadi biang keladi segala kehebohan.
Di
Selaparang, Banjar Getas diusir gara-gara kecemburuan raja. Banjar Getas
mengantar persenmbahan perkutut putih mulus ke Selaparang. Ketika itu
permaisuri prabu Kertabumi melihat Banjar Getas, lalu terjatuh dari
tangga dan pinsan. Terjadilah perkelahian, Banjar Getas melarikan diri
ke Brenga lalu ke Pena dan kemudian ke Pejanggik Akhirnya ia dapat
mengambil hati Datu Pejanggik yang bergelar Meraja Kusuma, Raja
Selaparang yang mengetahui bahwa Datu Pejanggik telah memberikan
perlindungan kepada Arya Sudarsana, meminta Datu Pejanggik agar
menyerahkan Arya Sudarsana ke Selaparang untuk diadili dan
mempertanggung jawabkan perbuatannya. Datu Selaprang mengingatkan Datu
Pejanggik bahwa Arya Banjar Getas akan mendatangkan bencana, Datu
Pejanggik yang seperti kena guna-guna menyayangi Arya Banjar Getas,
Berusaha tetap mempertahankan dan menggantinya dengan mempertasembahkan
wanita dan kuda kepada Raja Selaparang. Raja Selaparang tersinggung dan
menyesalkan sikap saudaranya di Pejanggik.
Dalam
naskah ini dikisahkan pula perkawinan antara Datu Pejanggik dengan
Putri Para demung yaitu Rangga Tapon di Bayan, Datu Banua dan Datu
Kentawang. Selain itu dalam naskah ini diceritakan juga tentang kejadian
salah pilih sewaktu meminang Putri Rangga Tapon. Yang terpilih adalah
Putri lurah bernama Lala Dewanti, Putri Rangga Tapon, Dewi Junti
akhirnya dikawinkan dengan Banjar Getas. Secara diam-diam Rangga Tapon
memendam kekecewaan terhadap kejadian ini.
Rupanya
ramalan terhadap Banjar Getas oleh Raja Selaparang ternyata benar.
Banjar Getas tidak begitu tulus dalam pengabdiannya terhadap Pejanggik.
Dewi Junti (istrinya) sempat pula disia-siakannya sehingga menimbulkan
amarah sang Dewi.
Diceritakan
bahwa Banjar Getas dalam suatu kunjungan ke Karang Asem Bali bersepakat
dengan temannya yang bernama I Gusti Bagus Alit untuk menggempur
Pejanggik. Kemudian peperangan berkecamuk. Adanya perang yang lama dan
pasang surut jatuhlah Raja Pejanggik. Raja Pejanggik mengungsi ke
Taliwang Sumbawa.
Sebagai
sasaran kedua yang akan diserang oleh persekongkolan antara Banjar
Getas dengan I Gusti Bagus Alit adalah Kerajaan Selaparang. Dengan
berancang-ancang pada pendirian Kerajaan Karang Asem di Sweta dan
Mataram kekuatan untuk meruntukan Selaparang disusun dan diatur dengan
seksama. Dalam pertempuran antara Selaparang di babad ini dikisahkan
kekacaubalauan tentara Bali yang dikalahkan oleh pasukan menjangan yang
terdiri atas sembilan ekor. Pasukan kijang ini sebenarnya sembilan orang
wanita sakti yang dikirim dari Bayan untuk membantu Selaparang.
Pasukan
Bali tidak mau menyerah begitu saja, akhirnya dituturkan bahwa meskipun
rakyat Selaparang telah bertahan mati-matian dalam keadaan jatuh
bangun, sering pula mendapatkan keunggulan atas musuhnya. Namun takdir
menetapkan bahwa Selaparang mengibarkan bendera putih tanda menyerah.
Selaparang akhirnya tunduk kepada kekuasaan Karang Asem, berkat adanya
permainan licik dari Banjar Getas dan atas kelicikannya itu telah
menciptakan sebuah legenda.
1 comments:
Post a Comment