Monday, 6 January 2014

Legenda Penyamaran Pemban Pejanggik



 
Bale Beleq Kita
Sambil menyusuri pantai selatan. Karena tak dikenal sebagai Peban, sepanjang perjalanannya menemukan ujian-ujian kesabaran ketika berhadapan dengan beberapa orang penduduk desa yang tak mempedulikannya. Ini mungkin menyakitkan bagi dirinya bila keinginannya tidak dikabulkan. Maka sang Peban mengucapkan ‘kutuk’ dan berlaku hingga sekarang.
Dalam kisahnya, disebuah dusun bernama Serenting desa Kuta kecamatan Pujut, di dusun itu hingga kini tumbuh pohon Kelor yang tidak bisa berbuah. Kutukan ini terjadi ketika sang Peban beristirahat dan ingin menyantap sayur buah kelor, tapi oleh empunya pohon kelor dibongongi dengan mengatakan, pohon kelornya sedang tidak berbuah. Faktanya, pohon kelor di Serenting, hingga kini tidak bisa berbuah.
Sang Pemban melanjutkan perjalanan menuju dusun Tarung-arung dan beristirahat sejenak, untuk sekedar santap siang. Sebagai orang Sasak yang suka makan sambal cabai, sang Pemban tergiur juga untuk dibuatkan sambal cabai segar yang ada disekitar tempat istirahat. Tapi apa kata pemilik kebun cabai? “Cabai saya belum matang untuk dibuat sambal” padahal di situ tanmpak jelas buah cabai yang memerah. Sang Pemban jadi kesal, tapi yang bisa dilakukan sebatas mengucap ’kutuk’, yaitu pohon cabai yang ditanam di dusun itu supaya tak pernah bisa berbuah merah. Hal ini sebagai balas atas kebohongan pemilik kebun cabai yang enggan berbagi beberapa buah cabai untuk orang lain.
Aneh memang, sampai kini di dusun Tarung-arung, buah cabai tidak akan berbuah merah. Meski buahnya telah cukup matang dan sudah terasa pedas, tapi tetap tidak bisa menjadi cabai merah.
Perjalanan spiritual sang Pemban, agaknya berlangsung pada bulan Pituq, bulan ke tujuh dalam kalender Sasak. Serupa dengan kedua kutuk di atas, terjadi juga di Pantai Kute, sebuah desa nelayan dan pariwisata. Di pingghir pantai sang Pemban mendirikan kemah. Ketika ingin sarapan pagi, sang Pemban ingin sekali makan ikan. Kebetulan saat itu nelayan yang baru turun melaut dengan hasil tangkapan yang cukup. Sang Pemban meminta seekor ikan kepada nelayan yang tangkapannya cukup banyak. Si nelayan memberikan dua ekor namun dengan nada agak ketus, ngedumel dan membalikkan badan. Pemberian itu sebagai tanda tak ikhlas. Melihat situasi yang tak mengenakkan itu, tentu sang Pemban menjadi kesal, kecewa dan sakit hati. “Kalau begitu, ikan ini jangan sampai dimakan, biar kukembalikan kehabitatnya ke laut luas”, demikian kata sang Pemban. Tapi sebelum ikan itu dilempar ke laut, lagi-lagi sang Pemban sempat mengucap kutuk. Biarlah ikan ini menjadi ikan beracun yang tak dapat dimakan manusia.
Apa yang terjadi kemudian? Disetiap bulan Pituq, selalu terdapat korban penduduk di desa itu yang keracunan karena makan jenis ikan Tamban. Penduduk setempat menyebutnya ikan Tamban Bulan Pituq.

0 comments:

Post a Comment

Rinjani Mountain