Sambil menyusuri pantai selatan. Karena tak
dikenal sebagai Peban, sepanjang perjalanannya menemukan ujian-ujian kesabaran
ketika berhadapan dengan beberapa orang penduduk desa yang tak mempedulikannya.
Ini mungkin menyakitkan bagi dirinya bila keinginannya tidak dikabulkan. Maka
sang Peban mengucapkan ‘kutuk’ dan berlaku hingga sekarang.
Dalam kisahnya, disebuah dusun bernama Serenting
desa Kuta kecamatan Pujut, di dusun itu hingga kini tumbuh pohon Kelor yang
tidak bisa berbuah. Kutukan ini terjadi ketika sang Peban beristirahat dan
ingin menyantap sayur buah kelor, tapi oleh empunya pohon kelor dibongongi
dengan mengatakan, pohon kelornya sedang tidak berbuah. Faktanya, pohon kelor
di Serenting, hingga kini tidak bisa berbuah.
Sang Pemban melanjutkan perjalanan menuju dusun
Tarung-arung dan beristirahat sejenak, untuk sekedar santap siang. Sebagai
orang Sasak yang suka makan sambal cabai, sang Pemban tergiur juga untuk
dibuatkan sambal cabai segar yang ada disekitar tempat istirahat. Tapi apa kata
pemilik kebun cabai? “Cabai saya belum matang untuk dibuat sambal” padahal di
situ tanmpak jelas buah cabai yang memerah. Sang Pemban jadi kesal, tapi yang
bisa dilakukan sebatas mengucap ’kutuk’, yaitu pohon cabai yang ditanam di
dusun itu supaya tak pernah bisa berbuah merah. Hal ini sebagai balas atas
kebohongan pemilik kebun cabai yang enggan berbagi beberapa buah cabai untuk
orang lain.
Aneh memang, sampai kini di dusun Tarung-arung,
buah cabai tidak akan berbuah merah. Meski buahnya telah cukup matang dan sudah
terasa pedas, tapi tetap tidak bisa menjadi cabai merah.
Perjalanan spiritual sang Pemban, agaknya
berlangsung pada bulan Pituq, bulan ke tujuh dalam kalender Sasak. Serupa
dengan kedua kutuk di atas, terjadi juga di Pantai Kute, sebuah desa nelayan
dan pariwisata.
Di pingghir pantai sang Pemban mendirikan kemah. Ketika ingin sarapan pagi,
sang Pemban ingin sekali makan ikan. Kebetulan saat itu nelayan yang baru turun
melaut dengan hasil tangkapan yang cukup. Sang Pemban meminta seekor ikan
kepada nelayan yang tangkapannya cukup banyak. Si nelayan memberikan dua ekor
namun dengan nada agak ketus, ngedumel dan membalikkan badan. Pemberian itu
sebagai tanda tak ikhlas. Melihat situasi yang tak mengenakkan itu, tentu sang
Pemban menjadi kesal, kecewa dan sakit hati. “Kalau begitu, ikan ini jangan
sampai dimakan, biar kukembalikan kehabitatnya ke laut luas”, demikian kata
sang Pemban. Tapi sebelum ikan itu dilempar ke laut, lagi-lagi sang Pemban
sempat mengucap kutuk. Biarlah ikan ini menjadi ikan beracun yang tak dapat
dimakan manusia.
Apa yang terjadi kemudian? Disetiap bulan Pituq,
selalu terdapat korban penduduk di desa itu yang keracunan karena makan jenis
ikan Tamban. Penduduk setempat menyebutnya ikan Tamban
Bulan Pituq.
0 comments:
Post a Comment