Tuesday, 31 December 2013

Ringkasan Babad Praya

Lontar babad Praya ditulis oleh penulis Sasak yang yang berasal dari desa Batujai. Lontar ini menceritakan sebab-sebab terjadinya pemberontakan pemuka masyarakat terhadap kekuasaan Anak Agung Gde Ngurah Karangasem yang berkuasa pada saat itu.
Sistem  penulisan lontar ini dalam bentuk sekaran (tembang) berbahasa Sasak. Ceritanya berawal dari latar belakang pemberontakan Praya. Diceritakan,pemberontakan terjadi karena adanya hasutan dari kalangan istana dan seorang yang berkebangsaan Arab bernama Tuan Sayid Abdullah yang menetap di Ampenan. Hal ini terjadi  sebagaia akibat adanya tekanan dan keharusan membayar upeti (pajak) serta adanya suatu paham yang keliru tentang dihalalkannya mencuri harta orang non muslim (Bali). Yang disebut terakhir merupakan penyebab khusus (Triger-penyelut) mulainya peperangan. Fitnah dan informasi yang keliru atau tidak sesuai dengan kenyataan telah memperuncing suasana di antar kedua belah puhak.

Dalam keadaan seperti itu, keputusan-keputusan yang diambil tanpa melalui perhitungan atau pemikiran panjang. Pihak yang satu mengunggulkan keberaniannya dan pihak yang lain membanggakan kekuatannya. Berbagai kelemahan pada masing-masing pihak dilukiskan dalam babad Praya ini misalnya, ketergesaan yang membawa kesulitan pada pihak Praya dan kesalahan strategi Anak Agung Made sebagai panglima perang kerajaan Mataram. Anak Agung mempergunakan pasukan Islam (Sasak) Praya. Dalam babad ini diceritakan pula akibat dari perang yang terjadi, berupa korban jiwa dan harta benda. Perang ini berakhir dengan kehancuran kerajaan Karang Asem Lombok dan masuknya Kolonialisme Belanda di Lombok.

Siapakah yang menang di antara mereka dalam perang saudara ini? Itulah pertanyaan yang muncul setelah membaca babad ini.Seperti bunyi ungkapan serat menak.
Yaktining para ratu kang ajurit
Kasoran tan kasoran
Unggul woten unggul
Mung sampeyan katiwasan
Para ratu lahire ungguling jurit
Nanging paduka tiwas
Artinya :
Sesungguhnya para pemimpin yang berperang
Kalah tiada kalah
Hanyalah Tuan terpedaya
Para pemimpin lahirnya menang perang
Tapi tuan-tuan terpedaya

Ringkasan

Babad Praya sebagaimana halnya babad-babad yang lain seperti babad Lombok, Babad Selaparang (Babad Sakra) merupakan nukilan sejarah yaitu sejarah Praya sewaktu melakukan pemberontakan terhadap pemerintahan Anak Agung. Pemberontakan pertanian di Praya terjadi sebagai akibat dari adanya pajak yang memberatkan rakyat Praya.

Pemberontakan Praya terjadi pada tahun 1891 di bawah pimpinan Lalu Semail atau yang lazim disebut dengan Guru Bangkol yang dibantu oleh pemuka lainnya yaitu H.Dolah, H.Yasin, Mamiq Sepian, Mamiq Diraja, Mamiq Srinata, Ocet Talib dan lain-lain. Dalam babad ini juga diceritakan adanya seorang yang menyatakan dirinya berkebangsaan Arab bernama Tuan Serip. Ia adalah pengacau dan pengadu domba kedua belah pihak yang berperang. Karena siasat adu domba itulah maka ia berhasil mempengaruhi beberapa daerah lainnya, seperti Sakra, Masbagik,  Jerowaru, Pujut, Puyung, Kopang, Batukliang, Penujak, Jonggat, Sukarara dan Kediri untuk mengadakan pemberontakan bersama-sama dengan Praya.

Demikianlah maka perang tak dapat dielakkan lagi. Kedua belah pihak masing-masing mempersiapkan diri. Pihak Anak Agung dipimpin oleh Ratu Made dibantu oleh Ratu Nengah Gengsok, Anak Agung Made Jelantik, Bagus Nyoman Gel-gel, Ida Conding dan lain-lain keluar dari Cakranegara menuju ke timur untuk menyerbu Praya. Demikian pula Praya yang semula telah sepakat menggabungkan kekuatan dengan Puyung mulai bergerak ke arah barat menuju Cakra untuk mengadakan penyerbuan. Akan tetapi  Puyung tak dapat memenuhi janjinya dan tak dapat dilewati oleh pasukan Praya karena dijaga ketat oleh para  prajurit yang setia di bawah pemerintahan Anak Agung. Pada waktu penyerngan pertama Lalu Semail alias Guru Bangkol tidak bisa seterusnya memimpin pasukan, karena mendadak sakit perut di tengah jalan. Ia terpaksa kembali ke Praya karena sakit.Kedua pasukan itu akhirnya bertemu di Batukeliang di tempat pertemuan pertama terjadi.

Pertemuan demi pertemuan terus berlangsug sampai akhirnya pasukan Anak Agung dapat memasuki Praya. Inilah yang menyebabkan sebagian warga kota Praya harus mengungsi. Sisa-sisa warga kota dan para pemimpin mereka itulah yang terus mengadakan perlawanan dengan siasat perang bertahan di tempat. Masjid dijadikan tempat pertahanan mereka dengan mempergunakan senjata seadanaya berupa keris-keris, tombak, pedang dan lain-lain. Sedangkan persenjataan Anak Agung cukup modern karena sebagian besar memakai bedil. Karena merasa kawatir terdesak oleh musuh, maka pada suatu saat, mereka membuat semacam taktik yaitu dengan mengikatkan tombak pada orang-orangan yang terbuat dari bumbug. Kalau talinya ditarik, maka semua orang-orangan itu akan bergerak seperti orang yang hendak menombak. Diceritakan bahwa siasat ini cukup berhasil karena musuh tidak berani maju mengadakan perlawanan.
Penyerbuan Anak Agung tidak berhenti sampai di sini,  mereka terus menerus berusaha menduduki Praya dengan berbagai cara seperti membakar rumah-rumah penduduk desa  dan masjid yang dijadikan tempat pertahanan. Pada saat itu hampir semua daerah Praya dapat diduduki oleh Anak Agung. Daerah sekitarnya sampai sebelah barat Leneng dan dari segala penjuru telah dibentengi Anak Agung. Akan tetapi  dengan sisa kekuatan dan kemampuan yang ada, Praya terus bertahan sampai akhirnya berhasil mengusir Anak Agung dari Leneng.

Hal ini  merupakan awal kemenangan Praya. Kekalahan pasukannya membuat Anak Agung Made Karangasem bersama Anak Agung Ketut Karangasem kembali menyusun strategi baru. Usahanya ini juga gagal karena daerah-daerah di luar Praya seperti Jrowaru, Sakra, Apitaik, Pringgabaya, Pohgading,dan daerah pesisir lainnya yang sebelumnya setia kepada Anak Agung kini dibawah pimpinan H. Ali dan Mamiq Wirasentana berbalik melawan Anak Agung. Demikian pula halnya dengan Puyung yang dijadikan markas pertahanan Mataram, akhirnya dapat dikuasai oleh Praya setelah Pujut, Kawo,  Penujak, Batujai, Mujur,dan Marong ikut menggabungkan diri. Dengan demikian berakhir pulalah upaya pendudukan Anak Agung terhadap Praya dan daerah-daerah lainnya.

Takepan Anak Kidung

Sebagai bagian dari adat istiadat masyarakat Sasak, dahulu kala para tetua(zaman Baloq kita) sering membaca takepan ini sebagai bagian ari ritual tolak bala misalnya pada saat ruwahan aau selametan.

Kidung Rumeksa in Wengi belum pernah disunting, maka saya menyajikannya di bawah ini. Anak Kidung ditulis dengan menggunakan tembang Jawa, khususnya tembang Dangdanggula. Anak Kidung ini bermaksud menghilangkan semua kekuatan yang dapat merugikan manusia dan ketentremannya, seperti penyakit, cobaan dan lain sebagainya, khususnya rasa bilahi. Di sini
adalah alih aksara naskah lontar Anak Kidung, milik Kristel van der Korst, Loosdrecht, sebagai contoh.

DANDANGGULA
1. /1a/ Ana kidung, angrasa dina wngi, tan gu / rahayu, aduh
ing alara, / luput ing balahi kabéh, ji / m sétan datan purun,
pana /1b/ luhan datan awani, aduh i / ng panggawé ala, gni
wong alu / put, gni atemahan tirta, / maling anah, tan ana
wani ri ka /2a/ mi, guna dudu pan sirna.
 

2. Sakeh / i lara pan samya ambali, / sawoh i kemat, si puru /
n olas, kawelas asih padu /2b/ luné, sakéh i braja luput, ka /
di kapuk tibaniréki, sakéh / ing bisa tawar, sawok roda /
tatap, kaya’ agung lemah sih, /3a/ sok ing landak, gwa ri
mong lemah mi / ring, pekik i puwaning marak. /
 

3. Pagulingané warak sakang / lwir, kadya ngambah, i segara
sat, /3b/ kowasa ngambah pucuké, apan sa / rira ayu,
ngingidran sako / héh i widadari, rinak / ing para malaékat,
sakatah /4a/ ing rasul, dadya ta sarira tunggal, / nétra Adam,
uteku bagi / nda Esis, pngucapé nabi / Musa.
 

4. Sumsumku Patimah /4b/ kang lénuwih, nabi Yakup, pamya
/ saningwang, nabi Yusup cahya / ngku mangké, nabi Dawut
/ swarangku, mwang Suléman kasaktén ma /5a/ mi’, nabi
(I)brahim i nyawa, Idri / s i rambut, baginda (A)li ku /
litingwang, Abu Bakar, getih / daging marsinggih, balungkuk
baginda /5b/ Usman.
 

5. Siji-sawiji mulana da / di, ta marencah, dadi (i)sini / ng
jagat, kang sami ring jasat / reké, sakéh rencana (a)gung,
nora wani ma /6a/ rek ing kami, sakéh ingkang rencana, / lan
isining wanéku, jim kala / wan blis lanat, nora wani, / saking
takdir Alah luwih, brerka /6b/ t nabi rasululah.
 

6. Sing angidung ana / kidung iki, dénya gati, la / nggeng
ma’muliya, aywa miril mu’mi / nin reké, slamet lan rahayu,
/7a/ noranana wani marek ing kami, sa / nwéh ikang rencana,
pada a / njarit-jerit iku, brakat na / bi Adam mwah, nabi rarul
/7b/ Mustapa kang lénuwih, brakat la’ila / ha ilalah.
 

7. Kuluhu’ gni u / balak-ubalik, séta / n mara, sétan matya,
blis /8a/ lanat suminggah reké, sakéh / é kang arungu, kang
anurat / kang animpeni, dadi raha / yuning jasat, kinarya sasa
/8b/ bur, winacahakening to / ya, kinarya (a)dus, wong / lara
tuwak iki, kiner / ya adus wong édan. /9a/
 

8. Lamun ana wong édan dhurpari, puwa / sanen, sadina
sawangya, / i derna jingga lengé, lamun si / ra angluruk,
musuhira datan /9b/ wani, lamun sira aprang, wate / k
ingkang skul, skurlé tigang pu / lukan, musuhira, rare / p
norana wani, rahayu /10a/ kang aprang.
 

9. Lamun ana wong kabanda / iki, mwang kadenda, lan wong
/ kabratan ing utang, yu / gya asembahyang reké, wayah
/10b/ é tngeh dalu, ping sawola / s winaca aris, ucu / l ikang
kabanda, malih kang / binanda iku, agelis si /11a/ ra
linuwaran, wong utang / sinahuran déra Yang Widi / , wong
agring nulih waras, (éh éh éh éh éh /11b/
 

10. Sumsumku Patimah kang lénuwih, / kang minangka,
rahayuni jasa / t, panguluning rasul ta reké, / sakéhé kang
tumuwuh, salira /12a/ né tunggal lan nabi, atéku ya Mu /
hammat, pangulun i rasu / l, pinayungan Adam / sowara,
samaptané, /12b/ sakatah i pra nabi, mapan / salirané
tunggal. /
 

11. Pupuyun tutugeng /13a/ nong(?) tutub langit, angin barat,
/ gumlang ing tawang, cinancang ta ké / tang reké, angrajak
gunung siyu, / jala sutra ilu mama’, mi /13b/ wah sawéh i
braja, mangadang i / suh, anulak panggawé ala, / rara
rungga, gumingsir pada a / glis, awor sakéh i wi /14a/ ksa.
 

12. Alungguh ring luhur kursi, kang atunggu, / sinurak ing tawang, pangalebur lara kabéh, / kusuk-kusuk i luhur, iku ing
lang / -lang i langit, miwa sakéh ing braja, ma /14b/ ngadang
i musuh, atunggul (l)atri lan syang, ki / na wdi, blis lanat
suminggah sami, nora wani kang karencana.
 

13. Pan / punika i budiniréki, wali Arab, /15a/ sasang kadi
mula, kirun sukung tangan reké, / wanak karuntang atunggu,
suku kiwa nga / gem gada wesi, anulak rara ru / ngga, satru
lawan musuh, pan tineggah /15b/ déni yang, ider-ider,
kaluhu’ balan / ubalik, sing ala satruning Alah. /
 

14. Gunung siyu sanggup palutur iki, sagara / asat, panuruh
satruh driyané, mama /16a/ nikan teguh timbul, wawalyan
kasakti / yan i nabi, lut senjata lanang, / tantu Mekah iku,
betdil tulup / pancar upas, pada putung, jempar i /16b/ nora
nginganin, pélor ambal iki Da / hlan.
 

15. Gunung siyu makapager mami’, / katon murub, sing
tumingal / ilang, miwah sang utamé reké, sa /17a/ kwéh i
lara lebur, tantu mamah ing awa / k mami’, miwah sakwéh i
bra / ja, magadang i musuh, ya ing rah / mat ma’mulya,
rahmat jati, /17b/ jumneng basa jasmani, ya rahmat
ma’mulya.
 

16. Abner sang rasu bani, kang adulu, awla / s sadaya, lulut
asih sarat kabéh / , mapan nabi ptang puluh, amayungang
rahi /18a/ hina wngi, damar nabi wokasan, sapda / nabi
Dawut, aptak baginda / Amsyah, sing arungu, ajeri / t-jerit
samya wdi, linuruk /18b/ samya sirna.
 

17. Lamun tan bisa amba sai / ki, ginawyé, dadi simat puni /
ka, tguh tibul paparabé, ya / n ginawa alurung, musuhira ta
/19a/ n awani, luput panggawé ala, gni wong / ngaluput,
musuhira tan uni / nga, pan sinipen, rinaksa / i Yang Widi,
teguhé tan pata /19b/ ndingan.
 

18. Satru musuh kundhur pada wdi, / apawangan, wruh
Bétalmukedas / bolak-balik panggawéné, amba / lik kinowang
kundhur, rara rungga pada /20a/ gumingsir, kang agring
nulih waras, wong / gni luput, nora wani umareka, / saking
rahmat, rahayu pakra / tinéki, rahmat patulung Alah. /20b/
 

19. Sing angidung ana kidung dina wngi, sapa / wruha, reké
araningwang, dun disu / n maksi raré, dépun raré / ku,
samurti lan ki sabrangti, ngalih a /21a/ ran ping tiga, arta
driya téngsun, du / k ingsun angalih aran, yang arta / ti,
araningsun tuwa i / ki, sapa wruh araningwang.
 

20. Sapangu /21b/ wruh kembang tampus siréki, awruh /
ingaran, yang arta drarya, tuga / l pancar i samané, sing sapa
/ wruh puniku, sasat teguh Pager /22a/ Wesi, rinaksa wong
sajagat, kang a / kidung iku, lan aluput ing durjan / wngi,
tanawani wong cidra (rusak) /22b/
 

21. Du ana kidung iki, sabran wa (rusak) / nn awani wong
cidra, yadyan bisa / tawar bahé, sing amaca arungu, / kang
anurat kang animpeni, no /23a/ ra wani kang rencana, sawngi
luput, / yan binakta alulunga, ri margané, / sing kapapak
pada asih, dadya / n ana wong gila.
 

22. Milané tan /23b/ kna sanding, gagéndhongan, miwah
wawa / rakan, Alah angadangena reké, / krana ta aja wruh,
yan awruh pu / nika wdi, saki sagara wétan, /24a/ Alah
angadang iku, jujuluk syang tu / gal, tunggal jati, dumeteng /
sang yang artati, aran pkur jati / nya.
 

23. Apaparab soma hari, /24b/ ilaheni, arané duk agesang,
wu / s mati kaya arané, duk langgi / h anéng gunung,
apaparab wasi / séng jati, ngalih aran ping tiga, /25a/ duk
anom matéku, adam jati do / dolan, ing urunan, ngalih aran
sri jati, niscaya ake / ning rawa.
 

24. Segara agung mako /25b/ bumi iki, lagi iku, ni wong sa /
buwana, pada asih mawoh kabéh, / sing bisa ngakgé kampuh,
ko / wasa ngangambah bumi, singandari bulan, /26a/ pada
asih maréngsun, yadin manusya / asih sira, Sang Yang
Tunggal, para / ndéné kawolas asih, atma / ni rama ring
yang.
 

25. Sakatahé panem /26b/ bahan puji, kaatura, kang angra /
ksa jagat, kang asih i mu’min / kabéh, atuduh marga luhung,
kang / adumi i dumi dasih, kang murah a /27a/ néng dunya,
nora kang luput, sami sinung / an baksana, tkéng éwan, miwa
/ h ruma beténg jro bumi, sami sinunga / n baksana.
 

26. Kang akraya utusan /27b/ kang lénuwih, i sakwéhé, jim
lan / manusya, ngangangken kasih reké, no / rananana kadi
iku, kasih / ané sakéh i pra nabi, pan /28a/ mulané akerya,
dadi ratu iku, da / di swarga lan nraka, tan liyan / saking,
sihira mri dutadi, ki / nerya kanyata’an.
 

27. Sadéréng /28b/ é bumi langit iki, dur puniku, pan / wus
ana, lan kayu’ ana reké, a / nginur kang rumuhun, saki takdir
A / lah luwih, duk Alah anandika, ma /29a/ ring nur lan kayu’
puniku, lah nur a / sujut dasi (rusak) pada sujut, pi / ng lima
asujut iki, iku mu / lané ana salat.
 

28. Mulané ana /29b/ salatiréki, lima waktu, nur mula / né
ika, asujut ping lima re / ké, karané kayu’ puniki, /
Sajaratulmuntaha iki, empang /30a/ ipun lilima, anging ta
kayu’ puni / ku, norana mawipatra, sajati / né, nur mulané
rumuhun, iku kang / dadi panutan.
 

29. Saking kasaka /30b/ ’ Alah luwih, akeryanen, kakasih / i
yang, minangka didi kabéh / gumilang-gilang asruh, anéng u
/ sul kalam mri rincing, awarna /31a/ kadi lintang, kendil
aranipun, / cinantél déning aras, tumé / tésan, tétés dadi roh
/ ing nabi, ika mulané ana jagat. /31b/
 

30. Ing aranan yayahiréki, rohira reké, baginda Ada / m,
tunggal iku pinakané, ba / ginda Adam ika, ingaranan /32a/
yayahing jisim, mulané ana ba / dan, nyawané kang rumuhun,
nur / bwat ring rasullah.
 

31. Sahira saki / ng Adam siréki, ginentis sira, ing /32b/
rarahinira, kang ingaran awa reké, / mijil saking suta jalu,
inga / ranan baginda Sis, nurbwat anéng / Adam, lami-lami
tumurun, prapta /33a/ siréng apdhulah.
 

32. Tamat. né luhu’. nhung / sa’ (motif bunga-bungaan
dengan aksara ditulis di tengah-tengah) hat dawa pukuhul
laku yamilat, / wala yumilat, wali yumila / lat masahulahata,
wa’ / ngahul sukal (motif bunga-bungaan) /34a/ né raja
Ubesi, aran jaya. / bismilahirahmanirahim, / raja Ubesi,
bapa’nya aji / namanya Besi, mendadi kentar /34b/ tiping
batu ponku asal besi, si / di luwar besi, di dalem besi, / Alah
besi Muhammat besi, bla / kangku besi, yén sira mangan
/35a/ awak sarirangku besi, saheng ko / sing burungan, kapir
jenengi / ra, yén ingsun mangan sira, haram jnengisun, aja
sira /35b/ mangan kulitku satampaking apalu, / aja sira
mangan dagingku, satampaking kaki, aja sira ma / ngan
getihku satampaking /36a/ gurinda, galih aran pamor purasa
/ ni, maléla waja pada lemes / sakéh i wesi kuning, pada /
lemes satampaking apalu /36b/ paron, brakat
la’hilaha’hilalah, /37a/ Alah uma dowa tulak bilahi, / rubuhrabah
sandi babah, u / ru umbalah pandhu balah, ku / luhu’
sungsang-sungsang jim sétan /37b/ katulah, raja kanon, raja
ku / ning, abulah ramatulah, / Majapahit buta bisu gni /
pandhu bala, blis dara sétan mati, /38a/ janma marajan mati,
sing jahil satru / ning Alah, kutda brakat do / wa tulak bilahi,
brakat la’hi / laha’ilalah brakat Muha /38a/ mmatda
rasululah. léyot latét / sang awet, Alah sang Alah sira /
jayakrasa, jneng aku Jayakarsa, mapan aku gaduh sangurungurung
Jayakarsa, /39a/ nyarek acacek kaka’ amaté, / woda
putih kalala musna i / lang, ayu mneng ratu burung, / sidi
mandi mantra sangurung-urung burung /39b/ . mhal mati
datu mur kawula / déwa ngéndéng dowé / datu mas panji
mapan aku / gaduh sangurung-urung. /40a/ Alah uma dowa
tulak bilahi, ru / buh-rabah, rendhib kabalah, uru / umbalah,
pak dhurbalah, raja ka / kén raja kuning, raja bumi raja /40a/
langit, raja lahat, majapahit / panulak bilahi. (/41a dan /41b/
kosong) né senjerit tawu se / hér. ugik-ugik-ugik. uwak uwak
uwak uwak /42b/ ugik ugik ugik ugik , / ugik ugik ugi / k,
uwak uwak uwa / k uwak uwak uwak.

Sunday, 29 December 2013

Masuknya Islam ke Nusa Tenggara Barat dan Bali

Merekonstruksi sejarah Kerajaan Selaparang menjadi sebuah bangunan kesejarahan yang utuh dan menyeluruh Kerajaan Selaparang merupakan salah satu kerajaan tertua yang pernah tumbuh dan berkembang di pulau Lombok,Buku Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat (2002) mencatat setidak-tidaknya tiga pendapat tentang asal muasal Pertama, disebutkan bahwa kerajaan ini merupakan proses kelanjutan dari kerajaan tertua di pulau Lombok, yaituBetara Indra kemudian mendirikan kerajaan baru bernama Kerajaan Suwung, yang terletak di sebelah utara Perigi Kedua, disebutkan bahwa setelah Kerajaan Lombok dihancurkan oleh tentara Majapahit, Raden Maspahit melarikan Ketiga, disebutkan bahwa pada abad XII, terdapat satu kerajaan yang dikenal dengan nama kerajaan Perigi yang Agak sulit membuat kompromi penafsiran untuk menemukan benang merah ketiga deskripsi di atas. Minimnya Ekspedisi ini, lanjut Djelenga, meninggalkan jejak kerajaan Gelgel di Bali. Sedangkan di Lombok, dalam Di antara kerajaan dan desa itu yang paling terkemuka dan paling terkenal adalah Kerajaan Lombok yang berpusat Belakangan, ketika Kerajaan ini dipimpin oleh Prabu Rangkesari, Pangeran Prapen, putera Sunan Ratu Giri, datang mengislamkan kerajaan Lombok. Dalam Babad Lombok disebutkan, pengislaman ini merupakan upaya dari Raden "Susuhnii Ratu Giri memerintahkan keyakinan baru disebarkan ke seluruh pelosok. Dilembu Manku Rat dikirim "Susuhnii Ratu Giri memerintahkan keyakinan baru disebarkan ke seluruh pelosok. Dilembu Manku Rat dikirim Setelah menyelesaikan tugasnya, Prapen berlayar ke Sumbawa dan Bima. Namun selama ketiadaannya, karena Setelah menyelesaikan tugasnya, Prapen berlayar ke Sumbawa dan Bima. Namun selama ketiadaannya, karena Setelah kemenangannya di Sumbawa dan Bima, Prapen kembali, dan dengan dibantu oleh Raden Sumuliya dan Setelah kemenangannya di Sumbawa dan Bima, Prapen kembali, dan dengan dibantu oleh Raden Sumuliya dan ke gunung-gunung, sebagian lainnya ditaklukkan lalu masuk Islam dan sebagian lainnya hanya ditaklukkan. Prapen meninggalkan Raden Sumuliya dan Raden Salut untuk memelihara agama Islam, dan ia sendiri bergerak ke Bali, dimana ia memulai negosiasi (tanpa hasil) dengan Dewa Agung Klungkung."Proses pengislaman oleh Sunan Prapen menuai hasil yang menggembirkan, hingga beberapa tahun kemudian Sementara di Kerajaan Lombok, sebuah kebijakan besar dilakukan Prabu Rangkesari dengan memindahkan pusat Menurut Fathurrahman Zakaria, dari wilayah pusat kerajaan yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru Di bawah pimpinan Prabu Rangkesari, Kerajaan Selaparang berkembang menjadi kerajaan yang maju di berbagai Bahkan kemudian dapat menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai jejawen. Dengan modal Bahasa Dengan mengkaji lontar-lontar tersebut, menurut Fathurrahman Zakaria (1998) kita akan mengetahui prinsip-prinsip Selain itu, dalam lontar-lontar yang ada diketahui bahwa istilah-istilah dan ungkapan yang syarat dengan ide dan Kemajuan Kerajaan Selaparang ini membuat kerajaan Gelgel di Bali merasa tidak senang. Gelgel yang merasa Mengambil pelajaran dari serangan yang gagal pada 1520, Gelgel dengan cerdik memaanfaatkan situasai untuk Namun niat Kerajaan Gelgel untuk menaklukkan Kerajaan Selaparang terhenti karena secara internal kerajaan Hindu Kedatangan VOC Belanda ke Indonesia yang menguasai jalur perdagangan di utara telah menimbulkan kegusaran Ekspansi Gowa ini menyebabkan Gelgel yang mulai bangkit tidak senang. Gowa dihadapkan pada posisi dilematis, Akan tetapi terjadi perubahan sikap sepeninggal Dalem Sagining yang digantikan oleh Dalem Pemayun Anom. Akhirnya perang antara Gowa dengan Belanda tidak terelakkan. Gowa melakukan perlawanan keras terutama Konon Gelgel berusaha memanfaatkan situasi dengan mengirimkan ekspedisi langsung ke pusat pemerintahan Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangganya, yaitu Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang Namun bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba yaitu kekuatan asing, Di balik itu, memang ada faktor-faktor lain terutama masalah perbatasan antara Selaparang dan Pejanggik yang Atas prakarsanya sendiri, Raden Arya Banjar Getas dapat menyeret Pejanggik bergabung dengan sebuah Ekspedisi Namun dalam kenyataan sejarah, ekspedisi itu telah menghancurkan Kerajaan Selaparang. Dan Kerajaan Selaparang Selaparang jatuh hanya tiga tahun setelah menghadapi Belanda. Empat belas tahun kemudian, pada tahun 1686



agaknya memerlukan pengkajian yang mendalam. Permasalahan utamanya terletak pada ketersediaan sumber-

sumber sejarah yang layak dan memadai. Sumber-sumber yang ada sekarang, seperti Babad dan lain-lain 

memerlukan pemilihan dan pemilahan dengan kriteria yang valid dan reliable. Apa yang tertuang dalam tulisan 

sederhana ini mungkin masih mengundang perdebatan. Karena itu sejauh terdapat perbedaan-perbedaan dalam pengungkapannya akan dlmuat sebagai gambaran yang masih harus ditelusurl sebagal bahan pengkajlan leblh

 ianjut.
 bahkan disebut-sebut sebagai embrio yang kemudian melahirkan raja-raja Lombok masa lalu. Posisi ini selanjutnya
menempatkan Kerajaan Selaparang sebagai icon penting kesejarahan pulau ini. Terbukti penamaan pulau ini juga 

sering disebut sebagai bumi Selaparang atau dalam istilah lokalnya sebagai Gumi Selaparang. 


kerajaan Selaparang. 


Kerajaan Desa Lae' yang diperkirakan berkedudukan di Kecamatan Sambalia, Lombok Timur sekarang. Dalam perkembangannya masyarakat kerajaan ini berpindah dan membangun sebuah kerjaan baru, yaitu kerajaan 

Pamatan di Kecamatan Aikmel dan diduga berada di Desa Sembalun sekarang. Dan ketika Gunung Rinjani meletus, 

penduduk kerajaan ini terpencar-pencar yang menandai berakhirnya kerajaan. 


sekarang. Setelah berakhirnya kerajaan yang disebut terakhir, barulah kemudian muncul Kerajaan Lombok atau 

Kerajaan Selaparang. 


diri ke dalam hutan dan sekembalinya tentara itu Raden Maspahit membangun kerajaan yang baru bernama Batu 

Parang yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Selaparang. 


dibangun oleh sekelompok transmigran dari Jawa di bawah pimpinan Prabu Inopati dan sejak waktu itu pulau 

Lombok dikenal dengan sebutan Pulau Perigi. Ketika kerajaan Majapahit mengirimkan ekspedisinyo ke Pulau Bali 

pada tahun 1443 yang diteruskan ke Pulau Lombok dan Dompu pada tahun 1357 dibawah pemerintahan Mpu Nala, 

ekspedisi ini menaklukkan Selaparang (Perigi?) dan Dompu. 


sumber-sumber sejarah menjadi alasan yang tak terelakkan. Menurut Lalu Djelenga (2004), catatan sejarah 

kerajaan-kerajaan di Lombok yang lebih berarti dimulai dari masuknya Majapahit melalui exspedisi di bawah 

Mpu Nala pada tahun 1343, sebagai pelaksanaan Sumpah Palapa Maha Patih Gajah Mada yang kemudian diteruskan

 dengan inspeksi Gajah Mada sendiri pada tahun 1352.

perkembangannya meninggalkan jejak berupa empat kerajaan utama saling bersaudara, yaitu Kerajaan Bayan di 

barat, Kerajaan Selaparang di Timur, Kerajaan Langko di tengah, dan Kerajaan Pejanggik di selatan. Selain keempat 

kerajaan tersebut, terdapat kerajaan-kerajaan kecil, seperti Parwa dan Sokong serta beberapa desa kecil, seperti 

Pujut, Tempit, Kedaro, Batu Dendeng, Kuripan, dan Kentawang. Seluruh kerajaan dan desa ini selanjutnya menjadi

wilayah yang merdeka, setelah kerajaan Majapahit runtuh. 


di Labuhan Lombok. Disebutkan kota Lombok terletak di teluk Lombok yang sangat indah dan mempunyai sumber 

air tawar yang banyak. Keadaan ini menjadikannya banyak dikunjungi oleh pedagang-pedagang dari Palembang, 

Banten, gersik, dan Sulawesi. 


Paku atau Sunan Ratu Giri dari Gersik, Surabaya yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara.

bersama bala tentara ke Banjarmasin, Datu bandan di kirim ke Makasar, Tidore, Seram dan Galeier, dan Putra 

Susuhunan, Pangeran Prapen ke Bali, Lombok, dan Sumbawa. Prapen pertama kali berlayar ke Lombok, dimana

dengan kekuatan senjata ia memaksa orang untuk memeluk agama Islam. 

kaum perempuan tetap menganut keyakinan Pagan, masyarakat Lombok kembali kepada faham pagan. 

Raden Salut, ia mengatur gerakan dakwah baru yang kali ini mencapai kesuksesan. Sebagian masyarakat berlari 


seluruh pulau Lombok memeluk agama Islam, kecuali beberapa tempat yang masih mempertahankan adat istiadat 

lama. 


kerajaan ke Desa Selaparang atas usul Patih Banda Yuda dan Patih Singa Yuda. Pemindahan ini dilakukan dengan 

alasan letak Desa Selaparang lebih strategis dan tidak mudah diserang musuh dibandingkan posisi sebelumnya. 


dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan 

pandangan. Dengan demikian semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui. 

Wilayah ini juga memiliki daerah belakang berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi bertingkat-

tingkat sampai hutan Lemor yang memiliki sumber air yang melimpah. 


bidang. Salah satunya adalah perkembangan kebudayaan yang kemudian banyak melahirkan manusia-manusia 

sebagai khazanah warisan tradisional masyarakat Lombok hari ini. Dengan mengacu kepada ahli sejarah 

berkebangsaan Belanda L. C. Van den Berg yang menyatakan bahwa, berkembangnya Bahasa Kawi sangat 

mempengaruhi terbentuknya alam pikiran agraris dan besarnya peranan kaum intelektual dalam rekayasa sosial 

politik di Nusantara, Fathurrahman Zakaria (1998) menyebutkan bahwa para intelektual masyarakat Selaparang dan 

Pejanggik sangat mengetahui Bahasa Kawi. 


Kawi yang dikuasainya, aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka para pujangganya banyak mengarang, menggubah,

mengadaptasi, atau menyalin manusia Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak. Lontar-lontar dimaksud, antara lain

Kotamgama, lapel Adam, Menak Berji, Rengganis, dan lain-lain. Bahkan para pujangga juga banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para walisongo, seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan 

Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, 

Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim, dan sebagainya. 


dasar yang menjadi pedoman dalam rekayasa sosial politik dan sosial budaya kerajaan dan masyarakatnya. Dalam 

bidang sosial politik misalnya, Lontar Kotamgama lembar 6 lembar menggariskan sifat dan sikap seorang raja atau 

pemimpin, yakni Danta, Danti, Kusuma, dan Warsa. Danta artinya gading gajah; apabila dikeluarkan tidak mungkin dimasukkan lagi. Danti artinya ludah; apabila sudah dilontarkan ke tanah tidak mungkin dijilat lagi. Kusuma artinya 

kembang; tidak mungkin kembang itu mekar dua kali. Warsa artinya hujan; apabila telah jatuh ke bumi tidak 

mungkin naik kembali menjadi awan. Itulah sebabnya seorang raja atau pemimpin hendaknya tidak salah dalam 

perkataan. 


makna telah dipergunakan dalam bidang politik dan hukum, misalnya kata hanut (menggunakan hak dan kewajiban)

, tapak (stabil), tindih (bertata krama), rit (tertib), jati (utama),tuhu (sungguh-sungguh), bakti (bakti, setia), atau 

terpi (teratur). Dalam bidang ekonomi, seperti itiq (hemat), loma (dermawan), kencak (terampil), atau genem (rajin).


sebagai pewaris Majapahit, melakukan serangan ke Kerajaan Selaparang pada tahun 1520, akan tetapi menemui 

kegagalan. 


melakukan infiltrasi dengan mengirimkan rakyatnya 

membuka pemukiman dan persawahan di bagian selatan 

sisi barat Lombok yang subur. Bahkan disebutkan, Gelgel 

menempuh strategi baru dengan mengirim Dangkiang 

Nirartha untuk memasukkan faham baru berupa 

singkretisme Hindu-Islam. Walau tidak lama di Lombok, 

tetapi ajaran-ajarannya telah dapat mempengaruhi 

beberapa pemimpin agama Islam yang belum lama 

memeluk agama Islam. 


ini juga mengalami stagnasi dan kelemahan di sana-sini. 


Gowa, sehingga Gowa menutup jalur perdagangan ke selatan dengan cara menguasai Pulau Sumbawa dan Selaparang. 

Dan untuk membendung misi Kristenisasi menuju ke barat, maka Gowa juga menduduki Flores Barat dengan 

membangun Kerajaan Manggarai.


mereka khawatir Belanda memanfaatkan Gelgel. Maka tercapai kesepakatan dengan Gelgel melalui perjanjian 

Saganing pada tahun 1624, yang isinya antara lain Gelgel tidak akan bekerja sama dengan Belanda dan Gowa akan melepaskan perlindungannya atas Selaparang, yang dianggap halaman belakang Gelgel. 


Terjadi polarisasi yang semakin jelas, yakni Gowa menjalin kerjasama dengan Mataram di Jawa dalam rangka 

menghadapi Belanda. Sebaliknya Belanda berhasil mendekati Gelgel, sehingga pada tahun 1640, Gowa masuk 

kembali ke Lombok. Bahkan pada tahun 1648, salah seorang Pangeran Selaparang dari Trah Pejanggik bernama 

Mas Pemayan dengan gelar Pemban Mas Aji Komala, diangkat sebagai raja muda, semacam gubernur mewakili 

Gowa, berkedudukan di bagian bara pulau Sumbawa. 


dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin yang dijuluki Ayam Jantan dari Timur. Sejarah mencatat Gowa harus menerima 

perjanjian Bungaya pada tahun 1667. Bungaya adalah sebuah wilayah yang terletak disekitar pusat kerajaan Gelgel

di Klungkung yang menandai eratnya hubungan Gelgel-Belanda. 


Selaparang pada tahun 1668-1669, tetapi ekspedisi tersebut gagal. 


bersamaan, suatu kekuatan baru dari arah barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan 

abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Bali) secara bergelombang, dan 

mendirikan koloni di kawasan Kotamadya Mataram sekarang ini. Kekuatan itu telah menjelma sebagai sebuah 

kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan, yang berdiri pada tahun 1622. 


Belanda, yang sewaktu-waktu akan melakukan ekspansi. Kekuatan dari tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel 

yang demikian kuat mampu dipatahkan. Sebab itu sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian

barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan pasukan kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq 

Wirabangsa. 


tidak kunjung selesai. Hal ini menyebabkan adanya saling mengharapkan peran yang lebih di antara kedua kerajaan 

serumpun ini. Atau saling lempar tanggung jawab. Dalam kecamuk peperangandan upaya mengahadapi masalah 

kekuatan yang baru tumbuh dari arah barat itu, maka secara tiba-tiba saja, tokoh penting di lingkungan pusat 

kerajaan, yaitu patih kerajaan sendiri yang bernama, Raden Arya Banjar Getas, ditengarai berselisih pendapat 

dengan rajanya. Raden Arya Banjar Getas akhirnya meninggalkan Selaparang dan hijrah mengabdikan diri di 

Kerajaan Pejanggik.yang dulu (Kerajaan Pejanggik-red) berada di Daerah Kec. Pejanggik cukup jauh dari desa 

Labulia yang berada di Kecamatan Jonggat 


Tentara Kerajaan Karang Asem yang sudah mendarat menyusul di Lombok Barat. Semula, informasi awal yang 

diperoleh, maksud kedatangan ekspedisi itu akan menyerang Kerajaan Pejanggik. 


dapat ditaklukkan hampir tanpa perlawanan, karena sudah dalam keadaan sangat lemah. Peristiwa ini terjadi pada 

tahun 1672. Pusat kerajaan hancur; rata dengan tanah, dan raja beserta seluruh keluarganya mati terbunuh. 


Kerajaan Pejanggik dibumi hanguskan oleh Kerajaan Mataram Karang Asem. Akibat kekalahan Pejanggik, maka 

Kerajaan Mataram mulai berdaulat menjadi penguasa tunggal di Pulau Lombok setelah sebelumnya juga meluluh 

lantakkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya.

Tokoh Islam Sasak Pada Masa Penjajahan

  1. Tuan Guru Haji Umar (Kelayu). Beliau terlahir pada tahun1200 Hijriyah. Orang tuanya bernama Kyai Ratna yang terkenal karena sangat pemurah terhadapfakir miskin dan para musafir. Neneknya bernama Kyai Nurul Hudayang meninggal sewaktu shalat subuh dalam keadaan sujud. T.G.H.Umar sangat tekun memberikan bimbingan pengajian dari saturumah ke rumah yang lain. Beliau juga rajin mengaji kepada orangalim, cerdas dan shaleh. T.G.H. Umar Kelayu belajar ilmu-ilmuagama di pulau Lombok dan di tanah suci Mekah.Secara garis besarnya dapat dijelaskan sebagai berikut: padaawal mulanya beliau belajar membaca al Qur’an di Tanjung,kemudian ke Sekarbela pada T.G.H. Mustafa dan Haji Amin diSesela. Pada usia 14 tahun T.G.H. Umar diperintahkan ke Mekahuntuk naik Haji oleh ayahnya dan berangkat dari Labuhan Haji.DiMekah beliau berguru tentang hadits pada Syekh Mustafa Afifi,Syekh Abdul Karim, dan Syekh Zaenuddin Sumbawa sedangkan pelajaran sufi diperoleh pada seorang ulama di Madinah. Setelah 15tahun ia kembali ke kampung halamannya untuk memberikan berbagai ilmu yang telah diperolehnya dari Mekah.Murid-murid T.G.H. Umar yang termasuk ulama besar  banyak berasal dari luar Lombok antara lain: Haji Abdul Fatta dariPontianak, Haji Dana dari Palembang, Haji Nawawi dari Lampungdan Haji Abdurrahman dari Kedah Malaysia. Sedangkan yang berasal dari Lombok antara lain: Hall Rais dari sekarbela, HajiMohammad Saleh dari Bengkel, Haji Abdul Hamid dari Pejeruk Ampenan, Haji As’ari dari Sekarbela, Haji Abdul Karim dari Praya,Haji Malin dari Pagutan, Haji Syarafuddin dari Pancor dan HajiBadarul Islam dari Pancor. Selain T.G.H. Umar masih terdapatulama-ulama terkemuka lainnya dan menjadi sahabatnya antara lain:T.G.H. Sidik dari Karang Kelok, T.G.H. Ibrahim dari Tanjung Luar dan T.G.H. Muhammad dari Mertok. T.G.H. Umar kembali berangkat haji pada tanggal 8 Rabiul Akhir 1349 H. Beliau meninggal dunia di kampung Nispalul dan dimakainkan di Mu’allaMekah.
  2. T.G.H Muhammad Saleh (Lopan). Awal abad ke XX M dikenal sebagai era kebangkitan Islam.Seorang ulama Islam yang tidak kurang jasanya dalam pembinaandan pengembangan Islam di Gumi Sasak adalah T.G. MuhammadSaleh alias T.G. Lopan. Beliau terkenal sangat wara’dan tak kenalmenyerah dalam mengembangkan ajaran ushul fiqh di kalanganumat Islam. Beliau juga mengembangkan ajaran sufi di Padamara,Sakra, Mesanggoh Gerung, Karang Kelok dan lain-lain.
  3. T.G.H. Ali Batu (Sakra). T.G.H. Ali Batu berasal dari Sakra. Beliau sangat gigihmemberikan pengajian-pengajian dan terkenal sangat alim. Selain beliau aktif dalam memberikan pengajian-pengajian, beliau juga banyak memimpin peperangan-peperangan antara orang-orang Sasak melawan kekuasaan Bali. Beliau meninggal saat peperangan tersebut.
  4. T.G.H. Mustafa (Kotaraja). T.G.H. Mustafa adalah seorang tokoh penyebar agama dimasa penjajahan Belanda. Pada saat itu banyak terdapat orang-orang Bali yang berdomisili di Kotaraja, tetapi beliau tanpa takut dan pantang mundur tetap memberikan pengajian-pengajian baik yang bersifat khusus maupun umum.
  5.  T.G.H. Badarul Islam (Pancor). T.G.H. Badarul Islam adalah salah satu tokoh yang sangatkharismatik. Beliau banyak memberikan pengajian-pengajian danmurid-muridnya pun banyak yang berasal dari berbagai tempat di Gumi Sasak.
  6. T.G.H. M. Shaleh Hambali (Bengkel). Nama kecil beliau adalah Muhammad Shaleh. Beliaumerupakan putra bungsu dari delapan bersaudara pasangan Hambali dan Halimah. Muhammad Shaleh dilahirkan pada hari Jum’at tanggal7 Ramadhan bertepatan dengan tahun 1893 Masehi. Kisah hidup beliau hampir mirip dengan kelahiran Rasulullah. Ketika beliaumasih dalam kandungan berumur 6 bulan, ayahnya dipanggilmenghadap Yang Maha Kuasa. Ketika beliau berumur 6 bulan,ibundanya tercinta menyusul ayahandanya dan beliaupun menjadiyatim piatu.Tuan Guru Haji Muhammad Shaleh Hambali mulai belajar mengaji pada usia 7 tahun. Beliau mengaji dengan teratur dan tekun pada salah seorang guru al-Qur’an yang ahli tajwid bernama Ramlialias Guru Sumbawa di desa kelahirannya di Bengkel. Setelah itu beliau melanjutkan pendidikannya ke Mekah al-Mukarromah sejak tahun 1912M sampai dengan 1921 M. Semasa di Mekah beliau berguru pada ulama fiqh, tafsir, tasawuf dan ilmu-ilmu agama yanglainnya.Adapun guru-guru beliau di Mekah adalah: Syekh Said AlYamani, Syekh Hasan Bin Syekh Said Al Yamani, Syekh AlawiMaliki Al Makki, Syekh Hamdan Al Maghrabi, Syekh Abdusatar Hindi, Syekh Said Al Hadrawi Makki, Syekh Muhammad Arsyad,Syekh Shaleh Bafadal, dan Syekh Ali Umairah Al Fayumi AlMishra.Selain belajar pada ulama di Mekah beliau juga belajar padaulama yang berasal dari Indonesia seperti T.G.H. Umar dariSumbawa, T.G.H. Muhammad Irsyad dari Sumbawa, T.G.H. Utsmandari Serawak, KH Muchtar dari Bogor, KH Misbah dari Banten,T.G.H. Abdul Ghani dari Bali, T.G.H. Abdurrahman dari Bali,T.G.H. Utsman dari Pontianak, T.G.H. Umar dari Kelayu, T.G.H.Abdul Hamid dari Pagutan, T.G.H. Asy’ari dari Sekarbela, danT.G.H. Yahya dari Jerowaru.Beberapa karya beliau seperti: Ta’lim Al Shibyan Bi GhayatAl Bayan berisi tentang tauhid, fiqh, tasawuf ditulis tahun 1354 Hijriyah dicetak di Surabaya. Kitab Bintang Perniagaan (fiqh) ditulistahun 1376 Hijriyah dicetak di Surabaya. Kitab Cempaka MuliaPerhiasan Manusia (tulisan tangan) bersumber dari kitab Bidayat AlHidayah karya Imam Al Ghazali (Wasiat Al Mustafa, terjemahan 30 wasiat dari Musthafa Rasulullah kepada Sayyidina Ali) berupatulisan tangan. Kemudian Mawa’id AZ Shalihiyah, sebuah kitabhadits ditulis tahun 1364 H dicetak di Surabaya. Kitab Intan BerlianPerhiasan Laki Perempuan berisi tentang fiqh keluarga ditulis tahun1371 Hijriyah diterbitkan di Surabaya. Beberapa lainnya, ManzalulAl Amrad tentang puasa, Hidayat Al Athfal tentang tajwid Al Qur’anatau nasehat kepada anak, dan Al-Lu’lu’A1¬Mantsur tentang hadits.Beberapa kepribadian beliau yang menunjukkan atas kesufiannyadapat dijelaskan sebagaimana penuturan murid beliau (T.G.H. IshaqHafid): “Datok adalah orang yang zuhud pada dunia, kekayaan yangdimiliki tidak membuat bel iau lupa daratan, sebagian menjadi tanahwakaf milik pesantren. Beliau suka berbelanja membeli barang- barang kebutuhan bangunan madrasah, pergi ke sawah, semata-matamengharap ridhaAllah.lidak tertipu oleh harta benda, harta itudinafkah untuk kepentingan agama, beliau belanjakan untuk fakir miskin, anak yatim piatu, orang tua jompo, santri-santri yangkehabisan bekal, hidup beliau begitu sederhana, qana’ah, bersih, sukamemakai minyak wangi dan memakai pakaian putih”.T.G.H.M. Shaleh Hambali wafat pada hari Sabtu tanggal 15Jumadhil Akhir bertepatan dengan tanggal 7 September 1968Masehi pukul 07.00 Wita. Sebelum wafat beliau berwasiat kepada keluargadan segenap santrinya, yang terurai dalam sebuah lintasan kalimatindah dan bermakna:
    1. Peliharalah persatuan dan kesatuan di antara sesamamu.
    2. Belajarlah pada guru yang beraliran Ahlussunnah wal-Jama’ah.
    3. Peliharalah Yayasan Perguruan Darul Qur’an dan usahakanlahagar berkembang lebih baik.T.G.H.M. Shaleh Hambali tak pernah pergi karena ilmu danamalnya terus mengalir dilestarikan oleh generasi berikutnya.7.
  7.  T.G.H. Muhammad Mutawalli Yahya A1 Kalimi (Jerowaru). Nama kecil Tuan Guru Haji Muhammad Mutawalli Yahya AlKalimi adalah Imran. Dilahirkan pada tahun 1921 M di kampungDirek, desa Jerowaru kabupaten Lombok Timur. Ayahnya seorangyang diberikan nama populer Guru Yahya atau Guru Yahye. Julukan31 guru diberikan kepada ayahandanya kar&a ia tekun, aktif dan rajinmenjadi guru ngaji. Sedangkan ibundanya bernama Inaq Nasar.Pengembaraannya dalam menuntut ilmu berawal dari pendidikankeluarga kemudian disekolahkan di sekolah Belanda Yolk School pada tahun 1927 M sampai dengan 1930 M. Setelah menyelesaikansekolah rakyat ia melanjutkan studi di Kediri Lombok Barat padasalah seorang Tuan Guru yang terkenal akan kesolehan dankeilmuannya yaitu Tuan Guru Haji Lalu Abdul Hafidz.Imran dikenal sebagai orang yang tekun, saleh dan cerdas.Pada saat belajar di Lombok Barat inilah Imran mulai bersentuhandengan kitab-kitab klasik yang membahas nahwu, sharaf, tauhid,ushul fiqh, dan fiqh. Kemudian sekitar tahun 1945 M, beliau berangkat ke Mekah al-Mukarromah. Setelah beliau pulang daritanah suci, beliau berkiprah melakukan pembinaan keluarga dalammembangun sumber daya manusia. Beliau juga dianggap mampumengubah pola pikir masyarakat yang menganut paham animisme,dinamisme dan pengikut ajaran Islam Waktu Telu yang masih berkembang luas di masyarakat.Tuan Guru Haji Muhammad Mutawalli Yahya A1 Kalimi juga berkiprah dalam berbagai bidang, terutama dalam pengembangan dunia pendidikan, seperti membuka majlis taklim,membuka lembaga pendidikan dasar seperti Lembaga Pendidikan Nahdlatul Awam, Pondok Pesantren Darul Aitam dll. Dalam bidangsosial beliau juga banyak berkiprah. Bersama masyarakat, beliau juga membuat jalan raya, jembatan, serta membangun panti sosial.Dalam bidang ekonomi beliau juga membangun pasar rakyat,membuka lahan pertanian. Sedangkan dalam bidang politik beliau juga mengikuti berbagai organisasi politik seperti Masyumi danGolkar.Tuan Guru Haji Muhammad Mutawalli Yahya Al Kalimiwafat pada tanggal 4 Rajab 1403H (4 April 1984 M) di Jerowaru,dan dimakamkan di dekat kediaman beliau. Lautan manusia berbondong-bondong membanjiri pemakamanbeliau, baik darikalangan pemerintahan maupun para alim ulama serta masyarakatumum..
  8.  T.G.K.H. Muhammad Zaenuddin Abdul Majid (Pancor). Pada tahun 1937 Mdidirikan sebuah lembaga pendidikan Islam bernama Nahdlatul Wathan (NW) yangdikelola secara modem.Pendirinya adalah T.G.K.H.Muhammad Zainuddin AbdulMajid dari Pancor Lombok Timur. Beliau terkenal dengannama Maulana Syekh atauTuan Guru Pancor. Dalamusahanya mengembangkanIslam, ternyata beliau jugamendapatkan tentangan dari para ulama Islam lainnya. Paraulama tersebut beranggapan bahwa sistem pendidikan yang beliaukembangkan dianggap bid’ah.Sampai dengan kedatangan tentara Jepang di Gumi Sasak, perkembangan Nahdlatul Wathan sangat lambat karena mendapatkanhalangan dan tantangan dari berbagai pihak. Ulama-ulama tua sangatanti terhadap pengaruh kebudayaan Eropa. Mata pelajaran umumseperti membaca dan menulis aksara latin dianggap sebagai sesuatuyang asing.T.G.K.H Muhammad Zainuddin Abdul Majid dilahirkan diKampung Bermi Pancor, Lombok Timur pada tanggal 17 Rabi’ulAwal 1316 H (1898M). Nama kecil beliau adalah MuhammadSaggaf. Nama tersebut diberikan oleh ayahandanya yang bernamaT.G.H. Abdul Madjid dan dikenal dengan sebutan “Guru Mu’minah”yang kesohor sebagai orang terpandang, saudagar besar dan kaya,serta pemurah. Guru Mu’minah termasuk seorang pejuang yangsangat pemberani, beliau pemah memimpin pasukan dari pihak Raden Rarang menyerang bala kerajaan Karangasem Bali yang saatitu menguasai pulau Lombok. Situasi perjuangan dan semangat jihad T.G.H. Abdul Madjid pada masa itu mendorong putera “Saggaf’ kelak menjadi ulamamujahid yang menegakkan panji-panji Islam di negeri ini. Sejak umur 5 tahun, beliau banyak belajar al-Qur’an dan dasar-dasar agama pada ayahnya. Pada usia 8 tahun beliau masuk Sekolah Rakyat 4tahun di Selong dan 4 tahun kemudian berhasil menamatkansekolahnya dengan prestasi yang sangat gemilang. Sebagai santri beliau juga belajar nahwu, sharaf dan ilmu-ilmu keislaman lainnya pada T.G.H. Syarafuddin Pancor dan T.G.H. Abdullah bin AmaqDulaji.Untuk mewujudkan cita-cita sang ayah agar puterakesayangannya kelak menjadi ulama besar, maka ayahanda Saggaf membawanya ke tanah suci Mekah untuk melanjutkan pelajaran danmendalami ilmu-ilmu keislaman. Begitu mendalam kasih sayangorang tuanya kepada pendidikan beliau, sampai-sampai ayahandanya pun ikut bermukim di tanah suci Mekah. Selain belajar di Mekah, beliau juga banyak berguru pada ulama-ulama besar yang berasal,dari berbagai pulau di Indonesia seperti Jawa, Sumatera dan lain-lain.Setelah tumbuh dewasa T.G.K.H. Muhammad Zainuddin AbdulMajid banyak memberikan pengajian-pengajian di seluruh pulauLombok, bahkan sampai keluar daerah.
  9.  T.G.H. Mahsun (Masbagik). T.G.H. Mahsun dilahirkan di desa Danger, kecamatanMasbagik, kabupaten Lombok Timur pada tahun 1907 M. Namakecil beliau adalah Ahmad. Nama tersebut diberikan olehorangtuanya, H. Mukhtar dan Hj. Raodah. Kelahiranputera yang satuini sangat menggembirakan hati kedua orang tuanya, mereka berharap kelak anaknya akan sangat berguna dalam membina dan mengembangkan ajaran agama Islam.Sejak masih kecil beliau banyak belajar membaca al-Qur’andan mempelajari dasar-dasar agama dari orang tuanya. Pada usia 8 tahun beliau masuk Sekolah Rakyat dan melanjutkan pendidikannyake Ibtidaiyah. Kerasnya didikan orang tua berdampak positif terhadap Ahmad sehingga pada masa kanak-kanak Ahmad telahmemperlihatkan keberanian, kejujuran, dan bakat kepemimpinan.Setelah cukup dewasa ia banyak belajar tauhid, fiqh, dan lain-lain, pada ulama-ulama ternama seperti T.G.H. Saleh Hambali(Bengkel) dan T.G.H. Badarul Islam (Pancor). Untuk lebihmeningkatkan pemahamannya terhadap ilmu-ilmu agama beliau punkemudian belajar ke Mekah dan menempuh pendidikan selama 4tahun terhitung sejak tahun 1936 M sampai dengan 1940 M. Setelah pulang dari Mekah beliau banyak memberikan pembinaan dan pengembangan agama Islam kepada masyarakat hampir di berbagaitempat di seluruh Lombok Timur. Lembaga pendidikan yang berdiri berkat jdsa-jasa beliau adalah Yayasan Pendidikan NahdlatulUmmah (Yadinu) dan Al Ijtihad di Danger. Kedua lembaga pendidikan tersebut sampai sekarang masih eksis.T.G.H. Mahsun termasuk salah satu tokoh pejuangkemerdekaan yang tergabung dalam pasukan Banteng Hitam. Beliaumemimpin Masbagik saat penyerangan Belanda di kota Selong, bergabung dengan pasukan dari Lendang Nangka (H. Jumhur Hakim) dan pasukan dari Pringgasela (T.G.H. Muhammad). Padasaat penyerangan tersebut, gugurlah pahlawan-pahlawan yang sangatkita banggakan antara lain: T.G.H. Muhammad, Sayid Saleh(Pringgasela), T.G.H. Faesal saudara dari T.G.H. Zaenuddin AbdulMajid (Pancor).

Monday, 23 December 2013

Cerita Gumi Selaparang

Tekocapan leq zaman Majapahit laeq, araq tetugasan tukang lukis lumbar nyebrang tipaq Gumi Lombok. Jari tugasne yaq mete keturunan raje si bini yaqne tegambar ( talukis ). Tukang lukis niki pesaengane Raden Mas Pahit. Sampun kesurah dateng Gumi Jawe, ntan Datu Lombok ndoean bije solah pesaengane Denda Dewi Ratnasari. Dende Dewi Ratnasari nike sanget inges. Jete polak aiq, penyerminan solah, pagerane rapi, ranggot gadingne maraq tajuk ile-ile, malik alus kulitne. Kocap rauh Raden Mas Pahit mendarat leq Labuhan Lombok. Deq sue klangsung lumbar kurin reje, matur pewikan entan kerauhane. Ngemban tugas lekan Gumi Jawa gen ngelukis selapuq bijan raje. Lukisan sino yaqne teaturan tipaq raje leq Jawe. Mbe si tekayunan salaq sopoq yaq tegading jari sebinian raje.

Konteq cerite, bilang jelo Dewi Ratnasari kecunduk kance Raden Mas Pahit. Sebilangne bedait tetep saling kemosin. Aranjaq dengan pade bajang inges dait tilah. Pade saling meleq ceritane Raden kance Dende. Sokne si pulih tetep mecunduk, timaq-timaq uah jari lukisane, sajakne badeng – adengan Raden Nune Mas Pahit. Sue-sue saling kangen ye tarik.
Leq sopoq jelo bebase Raden Nune “ O gamaq ariq solah Dewi Ratnasari, lamun uah jari lukisan sine, pasti ite yaq bekelin. Ite gen belalang isiq segare galuh. Takut tiang  aturin raje Majepahit utawi Patih Gajah Mada  lukisande sine.
“Ngumbe maksud pelinggihde Kakang Mas” bebase Dende Dewi Ratna.
“ Tiang yakin, lamun sermin lukisan niki isiq raje pasti kayun gading pelinggih de jari sebinian. Sementare tiang uah tumpah angen leq pelinggih de. Ndeqne bae maiq angen idap rase tiang Dende si bepisah kace peragayande. Bilang jelo kelem tiang pikiran ngumbe care siasat tiang adeq tete bau bareng kance side Dende.

Menng ye Dewi Ratnasari, tetu-tetu ye tesentuh isiq bebaos Raden Nune. Penoq sesaq idap rasen dadene Dewi Mas. Malik bebase Raden Nune Mas Pahit “ Ngumbe Dende solah pendapat pelinggihde ? Sampunan de meneng doang.
“Ampure Raden, soal niki jaq nenten bau katur isiq tiang. Sengaq tiang niki bangse nine, tiang sekedar ngantos doang.” Basen Dewi Mas Ratnasari.
Ngumbe aden tiang matur leq hadepan ragen mamiq Datu ?”
“ Pekayunan Raden, sampunan jari sisip leq tiang niki”

Raden Mas Pahit banjur lumbar menghadep leq rage Mamiq Datu. Matur pekayunane tipaq Datu. Datu meneng doang. Periak ye lemun tetolak pekayunan Raden Mas. Laguq bingung malik mikiran raje si leq Majepahit. Ngeno entan bingung, ngeno juaq entan lebih periak tipak Raden Mas Pahit. Kontaq cerite, Raden Mas pahit uah bebulanan ndeq man tulak tipak Majapahit. Utusan pelukis lain-lainan jaq uah doang ngaturan lukisane tipaq raje. Tekocapan endah raje sampun pulih lukisan inges dedare lekan Madura pasaengan Diyah Pitaloka. Ye sino jari pilihane. Laguq lantaran kejarian salaq paham leq Majapahit,  pejangkepan Raje kance Diah Pitalika burung jari. Sampe terjedi pesiatan  (peperangan)  tearanin peperangan Bubat.

Malik tetuturan Raden Mas Pahit. Jari araq utusan nyelidikin keadaan Raden Mas Pahit leq Gumi Lombok. Kendaitan ye, ternyate uah jari menantu Datu Rangka Sari Datu Lombok. Utusan nike tulak ngelapur ntan Raden Mas Pahit uah mejangkepkance bijen Datu Lombok. Banjur tekirim pasukan perang tepimpin isiq Empu Nala yaq hukum Datu Rangka Sari dait menantuna serte bijene. Kocap ratusan perahu terkirim tipak Lombok. Uahne dating Lombok, beterus beperangan, taceritaang Datu Rangka Sari kalah perang. Raden Mas Pahit kance sebinianne bereri tipaq gawah Lombok teparan Gawah Watu Parang.

Jari tekocapan leq gawah Wetu Parang niki taoqne bukaq pemukiman kence sise prajurit si setie turut ye bererei. Taoqne jaoq lekan Labuan dengan tujuan ndakne rapet laloq lekan pesisi. Usulan nike tesampean isiq due patih  teparan patih Singa Repa kance patih Banda Yuda.

Ringkasan Babad Selaparang

Raja Selaparang, Prabu Kertabumi, mempunyai seorang patih bernama Arya Sudarsana. Patih Arya Sudarsana ini bermukim di Prigi dengan Seratus Kaumnya. Arya Sudarsana yang juga Banjar Getas inilah yang dari awal tutur menjadi biang keladi segala kehebohan.

Di Selaparang, Banjar Getas diusir gara-gara kecemburuan raja. Banjar Getas mengantar persenmbahan perkutut putih mulus ke Selaparang. Ketika itu permaisuri prabu Kertabumi melihat Banjar Getas, lalu terjatuh dari tangga dan pinsan. Terjadilah perkelahian, Banjar Getas melarikan diri ke Brenga lalu ke Pena dan kemudian ke Pejanggik Akhirnya ia dapat mengambil hati Datu Pejanggik yang bergelar Meraja Kusuma, Raja Selaparang yang mengetahui bahwa Datu Pejanggik telah memberikan perlindungan kepada Arya Sudarsana, meminta Datu Pejanggik agar menyerahkan Arya Sudarsana ke Selaparang untuk diadili dan mempertanggung jawabkan perbuatannya. Datu Selaprang mengingatkan Datu Pejanggik bahwa Arya Banjar Getas akan mendatangkan bencana, Datu Pejanggik yang seperti kena guna-guna menyayangi Arya Banjar Getas, Berusaha tetap mempertahankan dan menggantinya dengan mempertasembahkan wanita dan kuda kepada Raja Selaparang. Raja Selaparang tersinggung dan menyesalkan sikap saudaranya di Pejanggik.

Dalam naskah ini dikisahkan pula perkawinan antara Datu Pejanggik dengan Putri Para demung yaitu Rangga Tapon di Bayan, Datu Banua dan Datu Kentawang. Selain itu dalam naskah ini diceritakan juga tentang kejadian salah pilih sewaktu meminang Putri Rangga Tapon. Yang terpilih adalah Putri lurah bernama Lala Dewanti, Putri Rangga Tapon, Dewi Junti akhirnya dikawinkan dengan Banjar Getas. Secara diam-diam Rangga Tapon memendam kekecewaan terhadap kejadian ini.
Rupanya ramalan terhadap Banjar Getas oleh Raja Selaparang ternyata benar. Banjar Getas tidak begitu tulus dalam pengabdiannya terhadap Pejanggik. Dewi Junti (istrinya) sempat pula disia-siakannya sehingga menimbulkan amarah sang  Dewi.
Diceritakan bahwa Banjar Getas dalam suatu kunjungan ke Karang Asem Bali bersepakat dengan temannya yang bernama I Gusti Bagus Alit untuk menggempur Pejanggik. Kemudian peperangan berkecamuk. Adanya perang yang lama dan pasang surut jatuhlah Raja Pejanggik. Raja Pejanggik mengungsi ke Taliwang  Sumbawa.

Sebagai sasaran kedua yang akan diserang oleh persekongkolan antara Banjar Getas dengan I Gusti Bagus Alit adalah Kerajaan Selaparang. Dengan berancang-ancang pada pendirian Kerajaan Karang Asem di Sweta dan Mataram kekuatan untuk meruntukan Selaparang disusun dan diatur dengan seksama. Dalam pertempuran antara Selaparang di babad ini dikisahkan kekacaubalauan tentara Bali yang dikalahkan oleh pasukan menjangan yang terdiri atas sembilan ekor. Pasukan kijang ini sebenarnya sembilan orang wanita  sakti yang dikirim dari Bayan untuk membantu Selaparang.

Pasukan Bali tidak mau menyerah begitu saja, akhirnya dituturkan bahwa meskipun rakyat Selaparang telah bertahan mati-matian dalam keadaan jatuh bangun, sering pula mendapatkan keunggulan atas musuhnya. Namun takdir menetapkan bahwa Selaparang mengibarkan bendera putih tanda menyerah. Selaparang akhirnya tunduk kepada kekuasaan Karang Asem, berkat adanya permainan licik dari Banjar Getas dan atas kelicikannya itu telah menciptakan sebuah legenda.

Tentang Arya Banjar Getas



Hingga saat ini, sudah cukup banyak babad di Lombok yang sudah dikenali bahkan sudah dtranskripsi ke dalam tulisan latin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Di antara babad-babad tersebut misalnya; babad Lombok, babad Seleparang, Babad Sakra, Babad Praya dan lain-lain. Pada umumnya, babad-babad tersebut mengungkapkan peristiwa penting yang pernah dialami ditempat-tempat tertentu, misalnya, Babad Sakra yang menceritakan penyerangan Karangasem ke daerah Sakra, atau babad Praya yang menceritakan penyerangan yang dilakukan Karangasem ke Praya.

Babad Lombok menceritakan tentang riwayat dari Nabi Adam hingga hancurnya dua kerajaan besar di Lombok yakni Pejanggik dan Seleparang, sementara Babad Seleparang hanya mengambil sebagian dari rentang peritiwa tersebut yakni kehancuran Pejanggik dan Seleparang.


Babad Lombok secara keseluruhan memuat 1218 bait (Suparman, 1994 : VIII)13. Isi babad tersebut secara secara umum; dari bait pertama hingga bait 977 berisi uraian sejarah penulis babad, sejarah dari Nabi Adam hingga menyebar dan menjadi penghuni paling awal yang menurunkan masyarakat Lombok. Pada bagian berikutnya, dimulai dari bait 978 sampai bait 989, kedudukan Arya Banjar Getas di Seleparang mulai muncul.

Mulai bait 990 sampai bait 1060, babad Lombok beralih mengupas pengangkatan raja baru menggantikan prabu Seleparang yang sudah tua, pengganti Prabu Seleparang sendiri berasal dari Bayan, hal ini terjadi karena Prabu Seleparang hanya memiliki puteri, akhirnya beliau kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada menantunya yang selanjutnya bergelar Prabu Mraja Anom. Peralihan kekuasaan tersebut dilakukan setelah raja menggelar prosesi pernikahan puterinya dengan pesta yang sangat meriah hingga tujuh hari-tujuh malam.

Selesai menjelaskan upacara pernikahan tersebut, bait-bait selanjutnya dalam babad Lombok menguraikan kemakmuran Kerajaan Seleparang, penataan wilayah sekitar kerajaan yang dilakukan Prabu Mraja Anom, pembangunan tempat ibadah (masjid), hingga kemudian beliau tua, puteri beliau memiliki putera dan akhirnya beliau mangkat.

Nama Arya Banjar Getas yang sudah berganti menjadi Raden Wira Candra mulai muncul lagi pada bait 1061 hingga bait 1217, pergantian nama Arya Banjar Getas menjadi Wira Chandra berkaitan dengan pelarian Arya Banjar Getas dari Seleparang dan meminta perlindungan di Pejanggik. Pada perkembangan selanjutnya, Arya Banjar Getas menjadi orang terdekat Raja Pejanggik.

Dalam Babad Seleparang yang keseluruhan baitnya berjumlah lebih dari 670 bait, nama Arya Banjar Getas semasa di Seleparang bernama Arya Sudarsana, muncul mulai dari bait 2 hingga bait terakhir.  Walaupun mengungkapkan sosok yang dianggap sama, diantara kedua babad tersebut terdapat perbedaan dalam menguraikan kedudukan dan peran Arya Banjar Getas, secara lebih rinci perbedaan tersebut dapat dilihat seperti di bawah ini;

Alasan di usir dan digempurnya Arya Banjar Getas oleh Raja Seleparang, di dalam babad Lombok disebutkan pada Bait 979. Adapun alas an tersebut adalah karena puteri raja tergila-gila pada Arya Banjar Getas sehingga Raja kemudian marah. Pada Babad Seleparang alasan tersebut terdapat pada bait ke 5, dalam bait tersebut menguraikan pengusiran dan penggempuran Arya Banjar Getas oleh raja Seleparang disebabkan karena ketika akan menghadap kepada raja, kedatangan Arya Banjar Getas beserta 100 orang pasukannya telah menimbulkan keramaian luar biasa di kerajaan. Semua orang ingin melihatnya, tidak terkecuali permaisuri keraton. Dalam kesempatan itu, Arya Banjar Getas beserta pasukannya sebenarnya juga berniat melakukan acara sawur paksi (pelepasan burung dara). Sebelum niat sawur paksi dan dilanjutkan menghadap raja tersampaikan, terjadi tragedi di istana. Permaisuri yang mencoba melihat acara tersebut dengan menaiki dinding istana menggunakan tangga terjatuh dan pingsan. Kejadian ini mengakibatkan raja menjadi murka dan memerintahkan bawahannya untuk menangkap Arya Banjar Getas.

Babad Lombok memandang, kedekatan puteri raja dengan Arya Banjar Getas yang menyebabkan Arya Banjar Getas diusir oleh raja, sementara dalam babad Seleparang, tragedi yang dialami oleh isteri raja yang menjadi penyebab. Mengenai kedudukan Arya Banjar Getas selama di seleparang, kedua babad cenderung sepaham. 

Persoalan yang menjadi pemicu pemberontakan Arya Banjar Getas terhadap Raja Pejanggik dalam babad Lombok diuraikan mulai dari Bait 1067 dan 1068. Dalam bait tersebut menyebutkan bahwa raja sangat terpesona melihat kecantikan isteri Raden Wira Candra (Arya Banjar Getas). Agar bisa mendekati isteri Wira Chandra, raja kemudian memerintahkan Raden Wira Chandra untuk pergi ke Bali, menghadap kepada Raja di Kelungkung untuk meminta kebutuhan dapur, karena Raja berniat hendak menyelenggarakan pesta. Dari bait 1089- 1093 masih pada babad Lombok menguraikan, sepeninggal Arya Banjar Getas, Raja Pejanggik kemudian memanggil seluruh istri pembesar istana, termasuk Lala Junti istri Arya Banjar Getas untuk menenun di kerajaan. Kegiatan tersebut berlangsung sampai sore, ketika isteri-isteri pembesar yang lain pulang, Lala Junti tidak diperkenankan untuk pulang. Pada malam harinya, raja kemudian memperkosa Lala Junti. Ketika hal itu disampaikan lewat surat kepada Arya Banjar Getas, dia tidak serta-merta mempercayai isterinya, tetapi ketika berburu dengan raja sekembalinya dari Kelungkung, secara tidak sengaja dia melihat selendang isterinya digunakan di dalam baju Raja, Arya Banjar Getas kemudian marah dan melakukan pemberontakan.

Pada babad Seleparang, pemicu pemberontakan Arya Banjar Getas terhadap Pejanggik adalah faktor keluarga. Mulai bait 392 dijelaskan, sekembalinya dari Bali dalam menunaikan titah Raja Pejanggik, Arya Banjar Getas tidak langsung pulang ke Tapon (tempat dia bersama isterinya tinggal. Dari Pejanggik ke Tapon jaraknya sekitar 3 KM-pen), tetapi singgah terlebih dahulu untuk menemui isterinya Lala Cindra yang tinggal bersama adik mertuanya di Bayan. Lala Cindra sendiri ke Bayan ketika Arya Banjar Getas diserbu untuk kesekian kalinya oleh pasukan Seleparang ketika masih di Perigi. Di saat kekuatan pasukannya waktu itu kian melemah, pasukan wanita Arya Banjar Getas kemudian melarikan Lala Cindra menuju Bayan. Arya Banjar Getas sendiri melarikan diri ke Memelak (Praya sekarang-pen). Sejak saat itu, Arya Banjar Getas tidak pernah bertemu lagi dengan Lala Cindra hingga ketika dia kembali dari Bali, dia memutuskan tidak langsung kembali ke Pejanggik, tetapi singgah terlebih dahulu selama dua bulan mengunjungi Lala Cindra.

Sekembalinya dari Bayan, Arya Banjar Getas kemudian menyampaikan keberadaan istri tuanya kepada Lala Junti (isteri mudanya), sekaligus meminta ijin kepada Lala Junti untuk kembali ke Bayan dan tinggal di sana selama 1 bulan lagi. Hal itu kemudian membuat Lala Junti menjadi sangat marah dan mengusir Arya Banjar Getas. Arya Banjar Getas kemudian pergi meninggalkan Tapon dengan tujuan ke Bayan. Sesampainya di Ampenan, tidak satupun perahu yang akan ke Bayan yang dia temukan. Dengan terpaksa dia akhirnya menumpang ke Bali dengan niat, di Bali dia akan mencari perahu yang akan ke Bayan untuk menumpang. Sesampai di Bali, dia bertemu dengan salah seorang temannya I Gusti Bagus Alit yang kemudian mengajaknya menghadap ke Raja Karangasem. Raja Karangasem kemudian mengingatkannya tentang peristiwa pengusirannya dari Seleparang dan menyarankannya untuk membalas kejadian tersebut dengan terlebih dahulu menyerang Pejanggik.

Babad Lombok memandang kebusukan Raja yang hendak memperkosa isteri Arya Banjar Getas sebagai pemicu munculnya persekongkolan Arya Banjar Getas dengan Karangasem menyerang Pejanggik, sementara Babad Seleparang memandang latar belakang pemberontakan didasari faktor internal Arya Banjar Getas yang sedang galau menghadapi konflik keluarganya dengan Lala Junti. Mengenai kedudukan Arya Banjar Getas selama di Pejanggik, kedua Babad cenderung seragam.

Dari keragaman dan ketidakseragaman antara uraian dalam Babad Lombok dan Babad Seleparang tersebut sepertinya yang perlu dicatat adalah tiga kali penyerangan ke Lombok (Seleparang) yang dilakukan oleh Bali melalui Gelgel selalu gagal (1520, 1530 1677, dan 1678 (Lukman 2003: 18 dan 20). Dengan demikian peran Arya Banjar Getas dapat dipandang telah meretas tembok kukuh pertahanan kerajaan di Lombok.

Keberhasilan kerja sama Arya Banjar Getas dengan Bali (Karangasem) pertama kali ketika menyerang kerajaan Pejanggik hingga runtuh (sekitar 1722). Setelah keberhasilan tersebut, Arya Banjar Getas kemudian membangun kerajaan di Memelak (kerajaan Arya Banjar Getas). Tidak lama setelah kemenangan atas Pejanggik, Arya Banjar Getas bersama dengan Kerajaan Karangasem kemudian menyerang Kerajaan Seleparang hingga runtuh pada tahun 1725.

Kerajaan Memelak yang di bangun Arya Banjar Getas terletak di Praya saat ini. Arya Banjar Getas sendiri menyandang gelar Arya Banjar Getas I. Raja Arya Banjar Getas I selanjutnya menurunkan trah raja-raja kerajaan Arya Banjar Getas mulai dari Raja Arya Banjar Getas II hingga Arya Banjar Getas VII.

Di sisi lain, pasca runtuhnya dua kerajaan besar di Lombok tersebut, karib Arya Banjar Getas I yakni Kerajaan Karangasem yang telah membangun perpanjangan kekuasaannya di Mataram bernama Kerajaan Singasari (berkedudukan di Cakranegara sekarang-pen). Perlahan namun pasti, mulai menggerogoti kekuasaan Arya Banjar Getas, bahkan cenderung hendak menguasainya. Setelah memakan waktu yang cukup lama, akhirnya sekitar tahun 1841, tepatnya pada masa pemerintahan Arya Banjar Getas VII, kerajaan Arya Banjar Getas runtuh.

Meskipun kedudukan dan perannya cukup banyak dikupas dalam Babad Lombok maupun Babad Seleparang, tetapi tidak seperti raja-raja Lombok lainnya, Arya Banjar Getas dalam banyak hal masih menjadi misteri yang belum bias terjawab dengan jelas hingga saat ini.

Dalam catatan di Babad Lombok maupun di Babad Seleparang, tidak sedikitpun informasi yang menjadi titik terang untuk mengusut asal-usul Arya Banjar Getas. Tulisan berbentuk tafsiran dikemukakan oleh Azhar. Dalam bukunya, Azhar (2003: 21) menyebutkan Perigi-Wanasaba (Lombok) sebagai asal-usul Arya Banjar Getas, argumentasi yang dikemukakan oleh Azhar, bahwa di daerah tersebut hingga saat ini, ditemukan desa bernama Desa Banjar Getas.

Dalam Babad
Arya Gajah Para, ditemukan nama Arya Getas, yang merupakan keturunan arya kediri kelima dari Sri Kameswara, ayah dari Sri Tunggul Ametung, dengan runutan sebagai berikut; Sri Kameswara berputra empat orang yakni Sri Kerta Dharma, Sri Tunggul Ametung, Dewi Ghori Puspa dan Sri Airlangga. Sri Airlangga kemudian menurunkan Sri Jayabaya dan Sri Jayabasha. Sri Jaya Baya memiliki tiga orang putera yakni Sri Dangdang Gendis, Sri Jayakatong dan Sri Jayakatha. Selanjutnya dari Sri Jayakatha menurunkan tiga orang anak yakni Arya Wayahan Dalem Menyeneng, Arya Katnagaran dan Arya Nudhata. Dari turunan inilah kemudian menurunkan Arya Gajah Para dan Arya Getas yang kemudian di dalam babad Arya Gajah Para disebutkan setelah kembali dari Jawa, menetap hingga memiliki keturunan 3 (tiga) orang, oleh raja Gelgel kemudian Arya Getas diperintahkan menyerang Seleparang.

Jika merunut dari geneologi raja-raja Singasari-Majapahit maka keturunan ke empat (kelima dari orang tua Tunggul Ametung) yang setara dengan Arya Getas adalah Jayanegara dengan angka tahun saka (1231-1250/1309-1389 M) Jafar (2009: Lampiran II).

Dalam keterangan sejarah, ketika abad ke-14 yakni masa pemerintahan Raja Hayamuruk, memang terdapat informasi bahwa sekembalinya dari sebuah pertemuan dengan raja-raja se Nusantara di kerajaan Majapahit, Raja Gelgel di berikan 40 orang pakadan (orang biasa) yang beragama Islam. Oleh raja Hayamuruk. Oleh raja, orang-orang tersebut selanjutnya ditempatkan di Desa Gelgel (Wawancara dengan tokoh agama Islam Desa Gelgel dan dr. Tjokorda Ratu Putra dari Puri Kelungkung, Dalam acara TVRI (Gema Azan Berkumandang di Desa Gelgel), direkam pada tanggal 21 Agustus 2009). Apakah Arya Getas adalah salah satu yang ikut diantara 40 orang yang kini menurunkan warga Desa Gelgel, tentu hal ini memerlukan penelitian lebih jauh.

Dari sumber yang termuat dalam babad Arya Gajah Para, ada beberapa hal yang perlu untuk diperjelas. Masa sebagaimana perkiraan tahun yang dibuat berdasarkan urutan geneologi merujuk pada genealogi raja Singasari-Majapahit menunjukkan bahwa masa Arya Getas dalam Babad tersebut adalah sekitar abad ke 14, sementara keruntuhan Pejanggik dan Seleparang yang melibatkan Arya Banjar Getas terjadi antara tahun 1722-1725.

Sumber lain, dikemukakan oleh Agung , yang sepertinya merujuk kepada Babad Arya Gajah Para “Treh dari Arya Gajah Para (Arya Getas-pen-) di Bali. Keberadaannya di Lombok ialah menjadi telik tanem (mata-mata) raja Bali (dalem) Gelgel untuk mengetahui keadaan dan perkembangan di Lombok (dalam Azhar, 2003:22).

Bagaimanapun rancunya keterangan mengenai sosok Arya Banjar Getas, yang perlu menjadi catatan adalah, kehadiran Arya Banjar Getas dalam catatan sejarah Lombok kemudian menjadi langkah awal bagi keberhasilan Bali mencengkramkan penjajahannya hingga hampir dua abad di Lombok, bahkan dalam banyak hal, telah memasukkan juga unsur-unsur kebudayaannya dalam tradisi masyarakat Lombok semisal pembagian kasta dan ritual perkawinan (dari melaik, sorong serah aji karma), bentuk pakaian ada dan sebagainya. Dengan demikian, perlu kiranya untuk segera melirik kembali masa lalu guna meninjau apa saja yang masih tersisa dan apa saja yang merupakan adopsi dan adaptasi dalam kebudayaan sasak yang berkembang di Lombok saat ini, dengan demikian, segala persoalan baik keterbelakangan ekonomi, pendidikan, pertentangan internal etnis sasak dan beragam persoalan lain yang menghimpit generasi Sasak saat ini bisa dirunut akar persoalannya untuk kemudian secara bersama menatap masa depan dengan lebih baik.


Rinjani Mountain