Hingga saat ini, sudah cukup banyak
babad di Lombok yang sudah dikenali bahkan sudah dtranskripsi ke dalam tulisan
latin dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Di antara babad-babad
tersebut misalnya; babad Lombok, babad Seleparang, Babad Sakra, Babad Praya dan
lain-lain. Pada umumnya, babad-babad tersebut mengungkapkan peristiwa penting
yang pernah dialami ditempat-tempat tertentu, misalnya, Babad Sakra yang
menceritakan penyerangan Karangasem ke daerah Sakra, atau babad Praya yang
menceritakan penyerangan yang dilakukan Karangasem ke Praya.
Babad Lombok menceritakan tentang
riwayat dari Nabi Adam hingga hancurnya dua kerajaan besar di Lombok yakni
Pejanggik dan Seleparang, sementara Babad Seleparang hanya mengambil sebagian
dari rentang peritiwa tersebut yakni kehancuran Pejanggik dan Seleparang.
Babad Lombok secara keseluruhan memuat 1218 bait (Suparman, 1994 : VIII)13. Isi
babad tersebut secara secara umum; dari bait pertama hingga bait 977 berisi
uraian sejarah penulis babad, sejarah dari Nabi Adam hingga menyebar dan
menjadi penghuni paling awal yang menurunkan masyarakat Lombok. Pada bagian
berikutnya, dimulai dari bait 978 sampai bait 989, kedudukan Arya Banjar Getas
di Seleparang mulai muncul.
Mulai bait 990 sampai bait 1060, babad Lombok beralih mengupas pengangkatan
raja baru menggantikan prabu Seleparang yang sudah tua, pengganti Prabu
Seleparang sendiri berasal dari Bayan, hal ini terjadi karena Prabu Seleparang
hanya memiliki puteri, akhirnya beliau kemudian menyerahkan kekuasaannya kepada
menantunya yang selanjutnya bergelar Prabu Mraja Anom. Peralihan kekuasaan
tersebut dilakukan setelah raja menggelar prosesi pernikahan puterinya dengan
pesta yang sangat meriah hingga tujuh hari-tujuh malam.
Selesai menjelaskan upacara pernikahan tersebut, bait-bait selanjutnya dalam
babad Lombok menguraikan kemakmuran Kerajaan Seleparang, penataan wilayah
sekitar kerajaan yang dilakukan Prabu Mraja Anom, pembangunan tempat ibadah
(masjid), hingga kemudian beliau tua, puteri beliau memiliki putera dan
akhirnya beliau mangkat.
Nama Arya Banjar Getas yang sudah berganti menjadi Raden Wira Candra mulai
muncul lagi pada bait 1061 hingga bait 1217, pergantian nama Arya Banjar Getas
menjadi Wira Chandra berkaitan dengan pelarian Arya Banjar Getas dari
Seleparang dan meminta perlindungan di Pejanggik. Pada perkembangan
selanjutnya, Arya Banjar Getas menjadi orang terdekat Raja Pejanggik.
Dalam Babad Seleparang yang keseluruhan baitnya berjumlah lebih dari 670 bait,
nama Arya Banjar Getas semasa di Seleparang bernama Arya Sudarsana, muncul
mulai dari bait 2 hingga bait terakhir. Walaupun mengungkapkan sosok yang
dianggap sama, diantara kedua babad tersebut terdapat perbedaan dalam
menguraikan kedudukan dan peran Arya Banjar Getas, secara lebih rinci perbedaan
tersebut dapat dilihat seperti di bawah ini;
Alasan di usir dan digempurnya Arya
Banjar Getas oleh Raja Seleparang, di dalam babad Lombok disebutkan pada Bait
979. Adapun alas an tersebut adalah karena puteri raja tergila-gila pada Arya
Banjar Getas sehingga Raja kemudian marah. Pada Babad Seleparang alasan
tersebut terdapat pada bait ke 5, dalam bait tersebut menguraikan pengusiran
dan penggempuran Arya Banjar Getas oleh raja Seleparang disebabkan karena
ketika akan menghadap kepada raja, kedatangan Arya Banjar Getas beserta 100
orang pasukannya telah menimbulkan keramaian luar biasa di kerajaan. Semua
orang ingin melihatnya, tidak terkecuali permaisuri keraton. Dalam kesempatan
itu, Arya Banjar Getas beserta pasukannya sebenarnya juga berniat melakukan
acara sawur paksi (pelepasan burung dara). Sebelum niat sawur paksi dan
dilanjutkan menghadap raja tersampaikan, terjadi tragedi di istana. Permaisuri
yang mencoba melihat acara tersebut dengan menaiki dinding istana menggunakan
tangga terjatuh dan pingsan. Kejadian ini mengakibatkan raja menjadi murka dan
memerintahkan bawahannya untuk menangkap Arya Banjar Getas.
Babad Lombok memandang, kedekatan puteri raja dengan Arya Banjar Getas yang
menyebabkan Arya Banjar Getas diusir oleh raja, sementara dalam babad
Seleparang, tragedi yang dialami oleh isteri raja yang menjadi penyebab.
Mengenai kedudukan Arya Banjar Getas selama di seleparang, kedua babad
cenderung sepaham.
Persoalan yang menjadi pemicu pemberontakan Arya Banjar Getas terhadap Raja
Pejanggik dalam babad Lombok diuraikan mulai dari Bait 1067 dan 1068. Dalam
bait tersebut menyebutkan bahwa raja sangat terpesona melihat kecantikan isteri
Raden Wira Candra (Arya Banjar Getas). Agar bisa mendekati isteri Wira Chandra,
raja kemudian memerintahkan Raden Wira Chandra untuk pergi ke Bali, menghadap
kepada Raja di Kelungkung untuk meminta kebutuhan dapur, karena Raja berniat
hendak menyelenggarakan pesta. Dari bait 1089- 1093 masih pada babad Lombok
menguraikan, sepeninggal Arya Banjar Getas, Raja Pejanggik kemudian memanggil
seluruh istri pembesar istana, termasuk Lala Junti istri Arya Banjar Getas
untuk menenun di kerajaan. Kegiatan tersebut berlangsung sampai sore, ketika isteri-isteri
pembesar yang lain pulang, Lala Junti tidak diperkenankan untuk pulang. Pada
malam harinya, raja kemudian memperkosa Lala Junti. Ketika hal itu disampaikan
lewat surat kepada Arya Banjar Getas, dia tidak serta-merta mempercayai
isterinya, tetapi ketika berburu dengan raja sekembalinya dari Kelungkung,
secara tidak sengaja dia melihat selendang isterinya digunakan di dalam baju
Raja, Arya Banjar Getas kemudian marah dan melakukan pemberontakan.
Pada babad Seleparang, pemicu pemberontakan Arya Banjar Getas terhadap
Pejanggik adalah faktor keluarga. Mulai bait 392 dijelaskan, sekembalinya dari
Bali dalam menunaikan titah Raja Pejanggik, Arya Banjar Getas tidak langsung
pulang ke Tapon (tempat dia bersama isterinya tinggal. Dari Pejanggik ke Tapon jaraknya
sekitar 3 KM-pen), tetapi singgah terlebih dahulu untuk menemui isterinya Lala
Cindra yang tinggal bersama adik mertuanya di Bayan. Lala Cindra sendiri ke
Bayan ketika Arya Banjar Getas diserbu untuk kesekian kalinya oleh pasukan
Seleparang ketika masih di Perigi. Di saat kekuatan pasukannya waktu itu kian
melemah, pasukan wanita Arya Banjar Getas kemudian melarikan Lala Cindra menuju
Bayan. Arya Banjar Getas sendiri melarikan diri ke Memelak (Praya
sekarang-pen). Sejak saat itu, Arya Banjar Getas tidak pernah bertemu lagi
dengan Lala Cindra hingga ketika dia kembali dari Bali, dia memutuskan tidak
langsung kembali ke Pejanggik, tetapi singgah terlebih dahulu selama dua bulan
mengunjungi Lala Cindra.
Sekembalinya dari Bayan, Arya Banjar Getas kemudian menyampaikan keberadaan
istri tuanya kepada Lala Junti (isteri mudanya), sekaligus meminta ijin kepada
Lala Junti untuk kembali ke Bayan dan tinggal di sana selama 1 bulan lagi. Hal
itu kemudian membuat Lala Junti menjadi sangat marah dan mengusir Arya Banjar
Getas. Arya Banjar Getas kemudian pergi meninggalkan Tapon dengan tujuan ke
Bayan. Sesampainya di Ampenan, tidak satupun perahu yang akan ke Bayan yang dia
temukan. Dengan terpaksa dia akhirnya menumpang ke Bali dengan niat, di Bali
dia akan mencari perahu yang akan ke Bayan untuk menumpang. Sesampai di Bali,
dia bertemu dengan salah seorang temannya I Gusti Bagus Alit yang kemudian
mengajaknya menghadap ke Raja Karangasem. Raja Karangasem kemudian
mengingatkannya tentang peristiwa pengusirannya dari Seleparang dan
menyarankannya untuk membalas kejadian tersebut dengan terlebih dahulu
menyerang Pejanggik.
Babad Lombok memandang kebusukan Raja yang hendak memperkosa isteri Arya Banjar
Getas sebagai pemicu munculnya persekongkolan Arya Banjar Getas dengan
Karangasem menyerang Pejanggik, sementara Babad Seleparang memandang latar
belakang pemberontakan didasari faktor internal Arya Banjar Getas yang sedang
galau menghadapi konflik keluarganya dengan Lala Junti. Mengenai kedudukan Arya
Banjar Getas selama di Pejanggik, kedua Babad cenderung seragam.
Dari keragaman dan ketidakseragaman antara uraian dalam Babad Lombok dan Babad
Seleparang tersebut sepertinya yang perlu dicatat adalah tiga kali penyerangan
ke Lombok (Seleparang) yang dilakukan oleh Bali melalui Gelgel selalu gagal
(1520, 1530 1677, dan 1678 (Lukman 2003: 18 dan 20). Dengan demikian peran Arya
Banjar Getas dapat dipandang telah meretas tembok kukuh pertahanan kerajaan di
Lombok.
Keberhasilan kerja sama Arya Banjar Getas dengan Bali (Karangasem) pertama kali
ketika menyerang kerajaan Pejanggik hingga runtuh (sekitar 1722). Setelah
keberhasilan tersebut, Arya Banjar Getas kemudian membangun kerajaan di Memelak
(kerajaan Arya Banjar Getas). Tidak lama setelah kemenangan atas Pejanggik,
Arya Banjar Getas bersama dengan Kerajaan Karangasem kemudian menyerang
Kerajaan Seleparang hingga runtuh pada tahun 1725.
Kerajaan Memelak yang di bangun Arya Banjar Getas terletak di Praya saat ini.
Arya Banjar Getas sendiri menyandang gelar Arya Banjar Getas I. Raja Arya
Banjar Getas I selanjutnya menurunkan trah raja-raja kerajaan Arya Banjar Getas
mulai dari Raja Arya Banjar Getas II hingga Arya Banjar Getas VII.
Di sisi lain, pasca runtuhnya dua kerajaan besar di Lombok tersebut, karib Arya
Banjar Getas I yakni Kerajaan Karangasem yang telah membangun perpanjangan
kekuasaannya di Mataram bernama Kerajaan Singasari (berkedudukan di Cakranegara
sekarang-pen). Perlahan namun pasti, mulai menggerogoti kekuasaan Arya Banjar
Getas, bahkan cenderung hendak menguasainya. Setelah memakan waktu yang cukup
lama, akhirnya sekitar tahun 1841, tepatnya pada masa pemerintahan Arya Banjar
Getas VII, kerajaan Arya Banjar Getas runtuh.
Meskipun kedudukan dan perannya cukup banyak dikupas dalam Babad Lombok maupun
Babad Seleparang, tetapi tidak seperti raja-raja Lombok lainnya, Arya Banjar
Getas dalam banyak hal masih menjadi misteri yang belum bias terjawab dengan
jelas hingga saat ini.
Dalam catatan di Babad Lombok maupun di Babad Seleparang, tidak sedikitpun
informasi yang menjadi titik terang untuk mengusut asal-usul Arya Banjar Getas.
Tulisan berbentuk tafsiran dikemukakan oleh Azhar. Dalam bukunya, Azhar (2003:
21) menyebutkan Perigi-Wanasaba (Lombok) sebagai asal-usul Arya Banjar Getas,
argumentasi yang dikemukakan oleh Azhar, bahwa di daerah tersebut hingga saat
ini, ditemukan desa bernama Desa Banjar Getas.
Dalam Babad Arya Gajah Para, ditemukan nama Arya Getas, yang merupakan keturunan arya kediri kelima dari Sri Kameswara, ayah dari Sri Tunggul Ametung,
dengan runutan sebagai berikut; Sri Kameswara berputra empat orang yakni Sri
Kerta Dharma, Sri Tunggul Ametung, Dewi Ghori Puspa dan Sri Airlangga. Sri
Airlangga kemudian menurunkan Sri Jayabaya dan Sri Jayabasha. Sri Jaya Baya
memiliki tiga orang putera yakni Sri Dangdang Gendis, Sri Jayakatong dan Sri
Jayakatha. Selanjutnya dari Sri Jayakatha menurunkan tiga orang anak yakni Arya
Wayahan Dalem Menyeneng, Arya Katnagaran dan Arya Nudhata. Dari turunan inilah
kemudian menurunkan Arya Gajah Para dan Arya Getas yang kemudian di dalam babad
Arya Gajah Para disebutkan setelah kembali dari Jawa, menetap hingga memiliki
keturunan 3 (tiga) orang, oleh raja Gelgel kemudian Arya Getas diperintahkan
menyerang Seleparang.
Jika merunut dari geneologi raja-raja Singasari-Majapahit maka keturunan ke
empat (kelima dari orang tua Tunggul Ametung) yang setara dengan Arya Getas
adalah Jayanegara dengan angka tahun saka (1231-1250/1309-1389 M) Jafar (2009:
Lampiran II).
Dalam keterangan sejarah, ketika abad ke-14 yakni masa pemerintahan Raja
Hayamuruk, memang terdapat informasi bahwa sekembalinya dari sebuah pertemuan
dengan raja-raja se Nusantara di kerajaan Majapahit, Raja Gelgel di berikan 40
orang pakadan (orang biasa) yang beragama Islam. Oleh raja Hayamuruk. Oleh
raja, orang-orang tersebut selanjutnya ditempatkan di Desa Gelgel (Wawancara
dengan tokoh agama Islam Desa Gelgel dan dr. Tjokorda Ratu Putra dari Puri
Kelungkung, Dalam acara TVRI (Gema Azan Berkumandang di Desa Gelgel), direkam
pada tanggal 21 Agustus 2009). Apakah Arya Getas adalah salah satu yang ikut
diantara 40 orang yang kini menurunkan warga Desa Gelgel, tentu hal ini
memerlukan penelitian lebih jauh.
Dari sumber yang termuat dalam babad Arya Gajah Para, ada beberapa hal yang
perlu untuk diperjelas. Masa sebagaimana perkiraan tahun yang dibuat
berdasarkan urutan geneologi merujuk pada genealogi raja Singasari-Majapahit
menunjukkan bahwa masa Arya Getas dalam Babad tersebut adalah sekitar abad ke
14, sementara keruntuhan Pejanggik dan Seleparang yang melibatkan Arya Banjar
Getas terjadi antara tahun 1722-1725.
Sumber lain, dikemukakan oleh Agung , yang sepertinya merujuk kepada Babad Arya
Gajah Para “Treh dari Arya Gajah Para (Arya Getas-pen-) di Bali. Keberadaannya
di Lombok ialah menjadi telik tanem (mata-mata) raja Bali (dalem) Gelgel untuk
mengetahui keadaan dan perkembangan di Lombok (dalam Azhar, 2003:22).
Bagaimanapun rancunya keterangan mengenai sosok Arya Banjar Getas, yang perlu
menjadi catatan adalah, kehadiran Arya Banjar Getas dalam catatan sejarah
Lombok kemudian menjadi langkah awal bagi keberhasilan Bali mencengkramkan
penjajahannya hingga hampir dua abad di Lombok, bahkan dalam banyak hal, telah
memasukkan juga unsur-unsur kebudayaannya dalam tradisi masyarakat Lombok
semisal pembagian kasta dan ritual perkawinan (dari melaik, sorong serah aji karma),
bentuk pakaian ada dan sebagainya. Dengan demikian, perlu kiranya untuk segera
melirik kembali masa lalu guna meninjau apa saja yang masih tersisa dan apa
saja yang merupakan adopsi dan adaptasi dalam kebudayaan sasak yang berkembang
di Lombok saat ini, dengan demikian, segala persoalan baik keterbelakangan
ekonomi, pendidikan, pertentangan internal etnis sasak dan beragam persoalan
lain yang menghimpit generasi Sasak saat ini bisa dirunut akar persoalannya
untuk kemudian secara bersama menatap masa depan dengan lebih baik.